RD. Sabas Kusnugroho
Menjadi umat beragama yang meng-Indonesia tentunya akan membuat negeri ini kaya hati. Bapak Uskup Albertus Soegijo Pranata, Uskup pertama Indonesia mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat yang benar. Sebagai orang katholik hidup yang sifatnya inklusif terhadap berbagai perubahan dan perbedaan harus dijalankan.
Hidup yang inklusif ini ia utarakan melalui seruannya kepada umat, “100% Katholik, 100% Indonesia.” Konsep hidup beragama sekaligus berbangsa semacam ini diusung untuk meretas batas antarumat beragama dan tetap hidup dalam satu bangsa. Bahkan slogan itu pun dirasa masih sangat relevan bagi umat nasrani dalam hidup beragama dan berbangsa hingga saat ini.
Idealnya, seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katholik, justru karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah miskin, tersingkir dan tertindas. Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang. Kita mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama.
Praktiknya hidup beriman yang inklusif itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun keterlibatan sosial. Semisal partisipasi dalam kancah politik, penyampaian aspirasi atau nilai-nilai perdamaian lewat media atau melakukan advokasi atas praktik ketidakadilan dan penindasan. Atau dalam lingkup kehidupan sosial yang lebih kecil adalah keterlibatan diri dalam dinamika RT/RW tempat kita tinggal.
Ibarat Ketapel
Sebuah ketapel agar mampu melontarkan batu dengan lesatan yang cepat dan akurat; kedua cabangnya harus memiliki panjang yang seimbang. Demikian juga orang Katholik yang tinggal di negeri Indonesia ini juga hendaknya seimbang antara kesalehan individu dan kesalehan sosialnya.
Cabang pertama disebut cabang signifikansi. Artinya tetap dituntut memiliki keimanan yang teguh dan tanpa takut berani menunjukkan statusnya sebagai orang Katholik. Sedangkan cabang kedua adalah cabang relevansi. Bahwa iman yang teguh dipegang itu hendaknya tetap terbuka atas nilai-nilai baru dari tuntutan jaman; terutama masyarakat sekitar. Duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan masyarakat Indonesia adalah juga duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan orang-orang Katolik. Sangatlah tidak adil bila kita ‘sukses’ dalam usaha dan beragama tetapi kita tidak peduli dengan masyarakat sekitar tempat kita berpijak dan menuai keberhasilan.
Ketika Yesus (Nabi Isa) dicobai oleh orang-orang Farisi soal kesetiaan kepada pimpinan Negara, Ia mengatakan bahwa hendaklah kamu memberikan apa yang menjadi hak baik milik Negara maupun milik Tuhan (Bdk. Lukas 20:25). Taat kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan taat kepada Negara. Maka sebagai indikator orang Katolik yang beriman secara benar dapat dilihat sejauh mana ia memiliki kepedulian dan turut tanggung jawab atas permasalahan yang terjadi di negeri Indonesia ini.