Senin, 23 April 2012

Memihak Orang Miskin, Memihak Keadilan


A. Luluk Widyawan, Pr 
Kitab Suci memberi gambaran tentang kemiskinan dalam beberapa kategori. Kemiskinan sebagai bentuk penindasan dan penipuan. Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, dikisahkan orang menjadi miskin karena ditindas oleh seseorang atau pemerintah (bdk., Amsal 14:31, 22:7, 28:15). Mereka mempraktikkan hukum yang tidak adil dan mengubah takaran sebagai bentuk eksploitasi. Kedua, kemiskinan dianggap sebagai kesalahan atau hukuman. Kitab Ayub mengisahkan, Tuhan membawa pencobaan kepada Ayub (Ayub 1:12-19). Ketiga, kemiskinan disebabkan oleh kemalasan, keputusasaan dan kerakusan. Amsal menulis seseorang menjadi miskin karena kebiasaan buruk dan apatisnya (bdk., Amsal 10:4, 13:4, 19:15, 20:13, 23:21).
Penyebab lain kemiskinan ialah budaya miskin. Kemiskinan menyebabkan kemiskinan lanjutan dan siklus itu tidak mudah dihentikan. Orang yang bertumbuh dalam budaya statis semacam itu membutuhkan daya juang atau pendidikan sehingga dapat memperbaiki keadaannya. Dalam situasi demikian, “orang kaya dan orang miskin bertemu, yang membuat mereka semua adalah Tuhan” (bdk., Amsal 22:2). Tuhan menghendaki perjumpaan, antara orang kaya dan orang miskin.
Pada saat Revolusi Industri, kemerosotan moralitas mengakibatkan pemerasan terhadap kaum pekerja yang tidak terlindungi undang-undang dan asosiasi.  Ketamakan manusia dan proses produksi secara keseluruhan melahirkan suatu situasi di mana segelintir orang kaya memperbudak kaum pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Paus Leo XIII saat itu mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum yang dengan tegas mengecam pemecahan sosialis yang mengingkari hak milik pribadi. Kaum sosialis berpendapat, penghapusan milik pribadi dan pengalihannya kepada negara, sebagai pemecahan atas masalah kaum pekerja. (art. 3, 7). Ia membela hak-hak kaum pekerja untuk memiliki barang melalui kerja keras mereka. Negara yang meniadakan hak, berarti menindas hak. (art.  8, 9, 23)
Ensiklik Rerum Novarum menjadi titik awal bahwa Gereja berhak berbicara mengenai masalah sosial. Dengan menggunakan prinsip Injil, Gereja berusaha mendamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial (majikan dan buruh, orang kaya dan miskin). Adalah suatu kesalahan menerima keadaan bahwa suatu kelas masyarakat bertentangan dengan kelas yang lain, seakan-akan terjadi adu domba antara kaum kaya dan kaum miskin. (art. 25-27, 33, 41)
Gereja perlu  mendidik umat untuk melakukan tindakan atau bertindak adil. (art. 40-41). Sebagaimana disebut dalam Ensiklik Rerum Nivarum,  kaum pekerja tidak boleh diperlakukan sebagai budak. Karena keadilan menuntut penghormatan akan martabat pribadi manusia. Tindakan yang sangat  tidak manusiawi jika memanfaatkan manusia, pria atau wanita, demi keuntungan semata, sebagai sesuatu yang tidak lebih dari sekedar barang. (art. 31).
Menurut YB Mangunwijaya, kemiskinan dan orang miskin adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami penderitaan. Mereka sungguh berada dalam situasi terjepit, selalu dikalahkan dan tak punya pilihan. Mereka tak memiliki jalan keluar atas persoalannya, tidak memiliki koneksi, modal atau informasi. Mereka sebagai kaum yang sakit, tertindas, terhisap, terjajah, tergusur, tergeser, yang dina, lemah, miskin, terlupakan, tak terhitung dan dilecehkan. Kemiskinan tak lagi menunjuk kepada suatu nasib atau keadaan kodrati, tetapi sebagai akibat dari proses pemiskinan. Maka, proses ini dapat dan harus dihentikan serta diganti dengan keadaan hidup yang lebih baik, yaitu di mana semua pihak saling memberi dan menerima atas asas keadilan.
Dalam situasi demikian, Gereja perlu peka terhadap persoalan kemiskinan dan orang miskin, dengan melihat situasi di sekitar, menganalisa kekuatan internal yang dapat dijadikan modal sosial serta menawarkan pemikiran, tindakan kreatif serta cara hidup alternatif sebagai pemecahan. Pendek kata, dalam situasi di mana yang kuat sebagai yang menang, Gereja perlu berpihak kepada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Dalam situasi yang mengagungkan uang, Gereja perlu mewartakan solidaritas dan kasih. Dalam situasi yang menghalalkan segala cara, Gereja perlu mengembangkan budaya saling menghormati, bekerjasama dan berdialog.
Inilah pilihan memihak orang miskin, sebagaimana diteladankan Yesus. Bahwa Gereja perlu terus berupaya menegakkan diri, meskipun jatuh bangun dan bahkan kerap mengalami kegagalan, untuk menjadi sahabat bagi semua kalangan, terutama mendengarkan mereka yang mengalami penderitaan dan mengupayakan bantuan. Atau berupaya mendukung prakarsa pemberdayaan masyarakat seperti pertanian organik, pemberdayaan ekonomi melalui credit union. Tak ketinggalan mengusahakan orang kaya dan orang miskin bertemu untuk saling membantu. Atau mendorong umat bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik demi mewujudkan keadilan.

Keadilan Bagi yang Tak Berdaya

OLEH: RM. AGUSTINUS EKO WIYONO, PR
Keadilan, dimanakah kita akan menemukannya? Kepada penegak hukum? Apakah kita bisa temukan? Kepada penguasa, apakah kita bisa berkeluh soal keadilan? Kita lihat saja situasi yang ada di sekitar kita. Setiap hari kita dihadapkan kepada berbagai peristiwa ketidakadilan yang terjadi tengah masyarakat. Masih hangat dibicarakan kasus yang dialami oleh AAL, siswa SMK Negeri 3 Kota Palu yang divonis bersalah oleh hakim pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah hari Rabu kemarin 4 Januari 2011 hanya gara-gara “mencuri” sepasang sandal. Dan ini merupakan peristiwa yang sebenarnya terjadi bukan baru saja, melainkan kasus lama yang kemudian sekarang diajukan ke pengadilan dan diperkarakan. Kasus yang ringan kalau mau dilihat perkaranya. Hanya gara-gara sepasang sandal maka AAL divonis bersalah. Sedangkan disekitar kita ada begitu banyak kasus berat dan besar yang sangat merugikan banyak orang, didiamkan saja dan yang melakukannya justru dengan tengang menikmati kebebasan. Adilkah ini?
Apakah kita masih bisa merasakan akan adanya keadilan yang nyata bagi semua manusia tanpa ada pembedaan dengan melihat siapa pribadinya. Keadilan hanyalah sebuah impian dan asyik untuk dibicarakan. Dalam tataran ide, sangat bagus. Tetapi tidak dalam kenyataan. Hanya sebuah utopia yang tidak tahu kapan dan bagaimana keadilan itu bisa terwujud dan berlaku bagi semua manusia. Juga mampukah kita berharap pada pribadi lain agar benar-benar kita bisa merasakan keadilan seperti yang kita dambakan bersama.
Dalam terang Injil kita dapat melihat apa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri. Manusia itu terpanggil dan wajib mengusahakan apa yang sedang bergerak di dunia sebagai gerakan hak-hak asasi manusia. Dalam terang Injil dilihat bahwa manusia, yang diakui dan dipanggil Tuhan sebagai sahabat-Nya, hanya dapat menjawab panggilan Tuhan itu dalam solidaritas. Sebab “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki ataupun perempuan, tetapi semua adalah satu di dalam Kristus” (Galatia 3:28).
Pengalaman menarik bisa kita lihat dari pengalaman umat Allah dalam Perjanjian Lama yang sangat menentukan sejarah selanjutnya, yaitu pengalaman pembebasan ketika martabat manusia mereka yang diinjak-injak ditegakkan kembali, ketika hak-hak asasi yang dirampas dikembalikan lagi.
Dalam Kitab Ulangan kita bisa menemukan apa yang dialami oleh Bangsa Israel: ”Kemudian engkau harus menyatakan di hadapan Tuhan, Allahmu, demikian: Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda serta mujizat-mujizat.Ia membawa kami ke tempat ini, dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. (Lihat Ulangan 26:5-9).
Maka sejak dari kisah ini, maka sejarah keselamatan adalah sejarah pembebasan, yang di dalam nya kita melihat perhatian khusus Tuhan akan kaum miskin dan yang tertindas. Tuhan sungguh mendengarkan orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya dalam tahanan” (Mazmur 69:34). Maka perlu diingat bahwa hak-hak asasi manusia pertama-tama harus diperjuangkan bagi yang lemah, yang tidak berdaya dalam masyarakat. Dasar dari tindakan ini adalah tindakan Tuhan sendiri yang melindungi orang yang tidak memiliki kekuatan.
Nah, belajar dari kasus diatas, dan dari apa hyang seharusnya kita perjuangkan dalam perjalanan hidup kita ini, kiranya sekarang kita harus berani mengubah diri kita sendiri. Kalau hanya berharap kepada orang lain tentang keadilan dan menuntut keadilan itu sulit. Mari kita mengembangkannya melalui dan dari dalam diri kita sendiri. Bagaimana caranya, yaitu dengan mengembangkan sikap murah hati dan mau membantu sesama terlebih yang miskin dan tak berdaya. Jangan sampai diri kita dibutakan oleh kepentingan pribadi yang hanya mencari dan menemukan kepuasan diri sendiri.
Apakah kita bisa? Inilah yang menjadi tantangan kita. BISA, asal kita terus menerus mengembangkannya dalam diri kita dengan tanpa kenal lelah. Kalau orang lain tidak adil kepada kita, maka jangan sampai kita melakukan yang sama kepada sesama. Kita harus menjadi pelita yang membawa terang bagi sesama.