Rabu, 04 Juli 2012

Jangan Takut, Percaya Saja!

RD. Adrianus Akik Purwanto


Bahasa yang kita pakai sehari-hari sering kali sangat tepat. Tampaknya memang aneh karena kata-kata itu melampaui apa yang secara sadar ingin kita utarakan. Jika kita berkata bahwa seseorang membuat kita ‘sakit leher’, ungkapan ini hanya untuk menyatakan bagaimana kita merasa terganggu sampai tubuh kita dapat merekamnya! Salah satu kesan paling buruk yang dapat kita katakan tentang seseorang ialah bahwa orang itu mengerikan. Mungkin ia adalah orang yang mengerikan karena perbuatan atau perkataannya, karena penampilan atau tingkah lakunya. Tetapi, satu hal yang pasti ialah mereka adalah orang yang mengerikan, yaitu, orang yang penuh ketakutan. Cerita tentang kehidupan manusia, hampir sebagian besar dari kepedihan dan apa yang kita sebut dosa, disebabkan karena seseorang tidak merasa aman, atau dengan kata lain, disebabkan oleh rasa takut
Kata-kata Yesus dalam bacaan Injil di perayaan ekaristi hari Minggu ini ialah, “Jangan takut, percaya saja!" (Injil Markus 5:36). Ucapan Yesus ini sangat menarik karena kebenaran yang terkandung dalam kata-kata itu. Kata-kata ini menjadi penting karena diletakkan di antara dua cerita tentang orang-orang yang penuh ketakutan.
Yairus mempunyai kedudukan yang penting. Ia adalah kepala rumah ibadat. Kendati ia mempunyai kedudukan, ia tersungkur bagai seorang pengemis, di depan kaki Yesus dan memohon pertolongan-Nya. Yairus adalah ayah yang ketakutan. Anak perempuannya yang berumur dua belas tahun sedang sakit keras, maka ia mendambakan pertolongan dari orang yang dapat menyembuhkannya. Keberanian dan kepercayaannya, bersumber dari rasa takutnya. Yesus tidak mengatakan apa-apa, tidak menjanjikan apa-apa, tetapi pergi bersama Yairus.
Perjalanan mereka diganggu oleh seorang penderita lain dengan penyakit yang mengerikan. Selama dua belas tahun seorang perempuan yang menderita pendarahan yang tidak dapat disembuhkan, suatu penderitaan berat karena siapa saja yang menyentuhnya, menjadi najis. Ia telah menghabiskan semua uang yang ada padanya untuk mendapatkan kesembuhan. Harapannya yang terakhir adalah datang kepada Yesus. Dengan rasa takut ia berdesak-desakan di tengah-tengah orang banyak. Ia mendekati Yesus dan menjamah jubah-Nya. Yesus mengetahui bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya. Namun, Ia ingin lebih menyembuhkan perempuan itu bukan hanya penyakitnya saja. Maka Yesus menyuruhnya berdiri di depan orang banyak untuk diakui imannya, diakui bahwa ia sekarang sudah tahir, supaya ia tidak mempunyai alasan lagi untuk merasa takut dan gelisah.
Lalu, datanglah berita bahwa anak perempuan Yairus telah meninggal. Yesus berkata kepada ayahnya, "Jangan takut, percaya saja!" Dengan tidak menghiraukan ratapan mereka yang berkabung dan sindiran dari orang-orang sekitar, Yesus membawa serta orangtua dan mereka yang mengikuti Dia masuk ke kamar. Lalu dipegang tangan anak itu, kata-Nya, "Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!" dan anak itu menuruti perintah-Nya. Akhirnya bagi Yairus tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.
Sering kali kita berdoa dengan penuh rasa takut. Kita begitu takut, bahkan kita juga takut untuk mempercayakan diri kita ke dalam tangan Tuhan yang penuh kasih. Karena ketakutan kita, kita membatasi Dia dengan kata-kata dan tuntutan-tuntutan kita. Bila kita sadar bahwa Allah selalu memberi kita yang terbaik, juga jika kita dapat mengandalkan dan percaya bahwa di bawah naungan-Nya selalu ada kasih, maka tentunya kita dapat menyerahkan diri pada-Nya dan tidak ketakutan lagi. Inilah yang terjadi pada kita ketika bermeditasi. Kita diam dan percaya pada Allah dengan hanya mengucapkan kata-doa kita dan secara berangsur-angsur Allah menghapus ketakutan kita. (Dari: Gerry Pierse CCSsR)

Berilah Kami Rezeki

 RD. Agus Wijatmiko
“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah,” demikian salah satu ajaran dari Mahatma Gandhi. Tentu saja Gandhi bukan tanpa sebab  berkata-kata demikian. Situasi India yang dia lihat sungguh mencermin jurang perbedaan yang sangat lebar antara si miskin dan si kaya. Gandhi memiliki keyakinan bahwa bumi yang diciptakan oleh Tuhan sebenarnya sangat mencukupi untuk semua mahluk yang hidup di dalamnya. Namun dalam kenyataannya masih begitu banyak manusia-manusia yang harus berada dalam kemiskinan dan kelaparan.
Kemiskinan dan kelaparan yang terjadi bukanlah yang ditentukan oleh Tuhan tetapi terkadang menjadi situasi yang terjadi karena ketidak-adilan. Manusia sendirilah yang menciptakan jurang yang lebar. Ketamakan manusialah yang menjadi penyebab ketidak-adilan itu. Ketamakan manusia telah ada sejak manusia ada di muka bumi. Kisah yang paling klasik adalah Kain dan Habel menjadi salah satu sejarah yang mengawali bagaimana Kain putra  Adam oleh sebab keserakahannya akhirnya membunuh Habel, adiknya (bdk. Kej 4: 3-8). Manusia memang cenderung menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus), dan seringkali menjadi korban adalah orang-orang yang paling lemah di masyarakat.
Dalam kisah penciptaan, ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia telah menyiapkan segala sesuatunya bagi hidup manusia (bdk. Kej 1: 1-31). Tuhan tidak membiarkan manusia hidup dalam penderitaan kemiskinan dan kelaparan. Tuhan yang peduli akan hidup manusia kembali diingatkan oleh Yesus Kristus melalui doa yang diajarkan kepada para murid-Nya, yaitu doa Bapa Kami. Di dalam doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan agar kita secara pribadi memohon agar Tuhan memberikan rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.
Yesus mengajarkan kepada semua manusia untuk memohon kepada Tuhan seperti kita memohon kepada Bapa kita sendiri. Kita diajarkan untuk memohon segala sesuatu yang penting bagi hidup kita. Dengan mengajukan permohonan kepada Tuhan, sebenarnya kita diundang Tuhan Yesus untuk mengakui kebaikan-Nya yang tiada taranya. Kebaikan Tuhan itu tidak pilih kasih; Dia yang menciptakan matahari baik bagi orang yang baik maupun bagi orang jahat, baik bagi orang yang saleh mamupun bagi seorang koruptor.
Dalam Doa Bapa Kami ada ungkapan “berilah kami rejeki pada hari ini” yang secara eksplisit mau mengatakan bahwa rejeki itu bukan hanya milik pribadi yang berdoa kepada Tuhan namun juga milik semua manusia. Karena Tuhan itu bukan hanya milik pribadi-pribadi tertentu melainkan juga Tuhan bagi semua manusia. Ungkapan ‘berilah kami’ juga merupakan ungkapan perjanjian bahwa kita ini adalah milik Tuhan dan pengakuan kita bahwa Tuhan senantiasa memperhatikan apa yang kita butuhkan untuk hidup. Dan melalui kata “kami” kita mengakui bahwa Tuhan adalah Bapa semua manusia. Maka ketika kita berdoa kepada Tuhan, kita berdoa pula bagi semua manusia sambil menjadikan kebutuhan dan penderitaan orang-orang yang menderita sebagai keprihatinan kita juga yang berdoa memohon rejeki kepada Tuhan.
Ungkapan “rejeki” merupakan ungkapan keyakinan bahwa Tuhan yang senantiasa memperhatikan hidup kita pasti akan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani yang berguna bagi kehidupan kita. Dalam kotbah di bukit, Yesus mengajarkan sebuah kepercayaan di mana kita merasa terjamin dalam penyelenggaraan Bapa. Dengan itu  Yesus menginginkan agar kita dibebaskan dari segala kesusahan dan kecemasan. Ada orang yang lapar karena mereka tidak mempunyai makanan. Kenyataan ini mengungkapkan satu arti yang lebih dalam dari permohonan “berilah kami rejeki”. Kelaparan di dunia yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari mengajak semua orang kristen yang mau berdoa secara jujur supaya melaksanakan tanggung jawabnya terhadap mereka yang kelaparan baik secara jasmani maupun rohani. Hal ini berkaitan dengan sikap pribadi kita untuk bersolider dengan seluruh umat manusia terutama mereka yang sedang mengalami kelaparan. Oleh sebab itu ketika kita berdoa Bapa Kami secara jujur, maka kita juga mendoakan mereka yang sedang mengalami penderitaan dan kita terpanggil untuk memberikan mereka makan baik makanan jasmani maupun makanan rohani. Masih banyak orang yang menderita sebagai korban ketidak-adilan. Oleh sebab itu dengan berdasarkan doa Bapa kami di mana kita memohon kepada Tuhan agar memberikan kita rejeki pada hari ini, maka kita terpanggil juga untuk memperhatikan dan memberikan makanan bagi sesama kita yang menderita.