Minggu, 29 April 2012

Menjadi Orang yang Meng-Indonesia

RD. Sabas Kusnugroho 
Menjadi umat beragama yang meng-Indonesia tentunya akan membuat negeri ini kaya hati. Bapak Uskup Albertus Soegijo Pranata, Uskup pertama Indonesia mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat yang benar. Sebagai orang katholik  hidup yang sifatnya inklusif terhadap berbagai perubahan dan perbedaan harus dijalankan. 
Hidup yang inklusif ini ia utarakan melalui seruannya kepada umat, “100% Katholik, 100% Indonesia.” Konsep hidup beragama sekaligus berbangsa semacam ini diusung untuk meretas batas antarumat beragama dan tetap hidup dalam satu bangsa. Bahkan slogan itu pun dirasa masih sangat relevan bagi umat nasrani dalam hidup beragama dan berbangsa hingga saat ini.
Idealnya, seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katholik, justru  karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah miskin, tersingkir dan tertindas. Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang. Kita mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama.
Praktiknya hidup beriman yang inklusif itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun keterlibatan sosial. Semisal partisipasi dalam kancah politik, penyampaian aspirasi atau nilai-nilai perdamaian lewat media atau melakukan advokasi atas praktik ketidakadilan dan penindasan. Atau dalam lingkup kehidupan sosial yang lebih kecil adalah keterlibatan diri dalam dinamika RT/RW tempat kita tinggal.
Ibarat Ketapel
Sebuah ketapel agar mampu melontarkan batu dengan lesatan yang cepat dan akurat; kedua cabangnya harus memiliki panjang yang seimbang. Demikian juga orang Katholik  yang tinggal di negeri Indonesia ini juga hendaknya seimbang antara kesalehan individu dan kesalehan sosialnya.
Cabang pertama disebut cabang signifikansi. Artinya tetap dituntut memiliki keimanan yang teguh dan tanpa takut berani menunjukkan statusnya sebagai orang Katholik. Sedangkan cabang kedua adalah cabang relevansi. Bahwa iman yang teguh dipegang itu hendaknya tetap terbuka atas nilai-nilai baru dari tuntutan jaman; terutama masyarakat sekitar. Duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan masyarakat Indonesia adalah juga duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan orang-orang Katolik. Sangatlah tidak adil bila kita ‘sukses’ dalam usaha dan beragama tetapi kita tidak peduli dengan masyarakat sekitar tempat kita berpijak dan menuai keberhasilan.
Ketika Yesus (Nabi Isa) dicobai oleh orang-orang Farisi soal kesetiaan kepada pimpinan Negara, Ia mengatakan bahwa hendaklah kamu memberikan apa yang menjadi hak baik milik Negara maupun milik Tuhan (Bdk. Lukas 20:25). Taat kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan taat kepada Negara. Maka sebagai indikator orang Katolik yang beriman secara  benar dapat dilihat sejauh mana ia memiliki kepedulian dan turut tanggung jawab atas permasalahan yang terjadi di negeri Indonesia ini.

Senin, 23 April 2012

Memihak Orang Miskin, Memihak Keadilan


A. Luluk Widyawan, Pr 
Kitab Suci memberi gambaran tentang kemiskinan dalam beberapa kategori. Kemiskinan sebagai bentuk penindasan dan penipuan. Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, dikisahkan orang menjadi miskin karena ditindas oleh seseorang atau pemerintah (bdk., Amsal 14:31, 22:7, 28:15). Mereka mempraktikkan hukum yang tidak adil dan mengubah takaran sebagai bentuk eksploitasi. Kedua, kemiskinan dianggap sebagai kesalahan atau hukuman. Kitab Ayub mengisahkan, Tuhan membawa pencobaan kepada Ayub (Ayub 1:12-19). Ketiga, kemiskinan disebabkan oleh kemalasan, keputusasaan dan kerakusan. Amsal menulis seseorang menjadi miskin karena kebiasaan buruk dan apatisnya (bdk., Amsal 10:4, 13:4, 19:15, 20:13, 23:21).
Penyebab lain kemiskinan ialah budaya miskin. Kemiskinan menyebabkan kemiskinan lanjutan dan siklus itu tidak mudah dihentikan. Orang yang bertumbuh dalam budaya statis semacam itu membutuhkan daya juang atau pendidikan sehingga dapat memperbaiki keadaannya. Dalam situasi demikian, “orang kaya dan orang miskin bertemu, yang membuat mereka semua adalah Tuhan” (bdk., Amsal 22:2). Tuhan menghendaki perjumpaan, antara orang kaya dan orang miskin.
Pada saat Revolusi Industri, kemerosotan moralitas mengakibatkan pemerasan terhadap kaum pekerja yang tidak terlindungi undang-undang dan asosiasi.  Ketamakan manusia dan proses produksi secara keseluruhan melahirkan suatu situasi di mana segelintir orang kaya memperbudak kaum pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Paus Leo XIII saat itu mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum yang dengan tegas mengecam pemecahan sosialis yang mengingkari hak milik pribadi. Kaum sosialis berpendapat, penghapusan milik pribadi dan pengalihannya kepada negara, sebagai pemecahan atas masalah kaum pekerja. (art. 3, 7). Ia membela hak-hak kaum pekerja untuk memiliki barang melalui kerja keras mereka. Negara yang meniadakan hak, berarti menindas hak. (art.  8, 9, 23)
Ensiklik Rerum Novarum menjadi titik awal bahwa Gereja berhak berbicara mengenai masalah sosial. Dengan menggunakan prinsip Injil, Gereja berusaha mendamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial (majikan dan buruh, orang kaya dan miskin). Adalah suatu kesalahan menerima keadaan bahwa suatu kelas masyarakat bertentangan dengan kelas yang lain, seakan-akan terjadi adu domba antara kaum kaya dan kaum miskin. (art. 25-27, 33, 41)
Gereja perlu  mendidik umat untuk melakukan tindakan atau bertindak adil. (art. 40-41). Sebagaimana disebut dalam Ensiklik Rerum Nivarum,  kaum pekerja tidak boleh diperlakukan sebagai budak. Karena keadilan menuntut penghormatan akan martabat pribadi manusia. Tindakan yang sangat  tidak manusiawi jika memanfaatkan manusia, pria atau wanita, demi keuntungan semata, sebagai sesuatu yang tidak lebih dari sekedar barang. (art. 31).
Menurut YB Mangunwijaya, kemiskinan dan orang miskin adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami penderitaan. Mereka sungguh berada dalam situasi terjepit, selalu dikalahkan dan tak punya pilihan. Mereka tak memiliki jalan keluar atas persoalannya, tidak memiliki koneksi, modal atau informasi. Mereka sebagai kaum yang sakit, tertindas, terhisap, terjajah, tergusur, tergeser, yang dina, lemah, miskin, terlupakan, tak terhitung dan dilecehkan. Kemiskinan tak lagi menunjuk kepada suatu nasib atau keadaan kodrati, tetapi sebagai akibat dari proses pemiskinan. Maka, proses ini dapat dan harus dihentikan serta diganti dengan keadaan hidup yang lebih baik, yaitu di mana semua pihak saling memberi dan menerima atas asas keadilan.
Dalam situasi demikian, Gereja perlu peka terhadap persoalan kemiskinan dan orang miskin, dengan melihat situasi di sekitar, menganalisa kekuatan internal yang dapat dijadikan modal sosial serta menawarkan pemikiran, tindakan kreatif serta cara hidup alternatif sebagai pemecahan. Pendek kata, dalam situasi di mana yang kuat sebagai yang menang, Gereja perlu berpihak kepada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Dalam situasi yang mengagungkan uang, Gereja perlu mewartakan solidaritas dan kasih. Dalam situasi yang menghalalkan segala cara, Gereja perlu mengembangkan budaya saling menghormati, bekerjasama dan berdialog.
Inilah pilihan memihak orang miskin, sebagaimana diteladankan Yesus. Bahwa Gereja perlu terus berupaya menegakkan diri, meskipun jatuh bangun dan bahkan kerap mengalami kegagalan, untuk menjadi sahabat bagi semua kalangan, terutama mendengarkan mereka yang mengalami penderitaan dan mengupayakan bantuan. Atau berupaya mendukung prakarsa pemberdayaan masyarakat seperti pertanian organik, pemberdayaan ekonomi melalui credit union. Tak ketinggalan mengusahakan orang kaya dan orang miskin bertemu untuk saling membantu. Atau mendorong umat bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik demi mewujudkan keadilan.

Keadilan Bagi yang Tak Berdaya

OLEH: RM. AGUSTINUS EKO WIYONO, PR
Keadilan, dimanakah kita akan menemukannya? Kepada penegak hukum? Apakah kita bisa temukan? Kepada penguasa, apakah kita bisa berkeluh soal keadilan? Kita lihat saja situasi yang ada di sekitar kita. Setiap hari kita dihadapkan kepada berbagai peristiwa ketidakadilan yang terjadi tengah masyarakat. Masih hangat dibicarakan kasus yang dialami oleh AAL, siswa SMK Negeri 3 Kota Palu yang divonis bersalah oleh hakim pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah hari Rabu kemarin 4 Januari 2011 hanya gara-gara “mencuri” sepasang sandal. Dan ini merupakan peristiwa yang sebenarnya terjadi bukan baru saja, melainkan kasus lama yang kemudian sekarang diajukan ke pengadilan dan diperkarakan. Kasus yang ringan kalau mau dilihat perkaranya. Hanya gara-gara sepasang sandal maka AAL divonis bersalah. Sedangkan disekitar kita ada begitu banyak kasus berat dan besar yang sangat merugikan banyak orang, didiamkan saja dan yang melakukannya justru dengan tengang menikmati kebebasan. Adilkah ini?
Apakah kita masih bisa merasakan akan adanya keadilan yang nyata bagi semua manusia tanpa ada pembedaan dengan melihat siapa pribadinya. Keadilan hanyalah sebuah impian dan asyik untuk dibicarakan. Dalam tataran ide, sangat bagus. Tetapi tidak dalam kenyataan. Hanya sebuah utopia yang tidak tahu kapan dan bagaimana keadilan itu bisa terwujud dan berlaku bagi semua manusia. Juga mampukah kita berharap pada pribadi lain agar benar-benar kita bisa merasakan keadilan seperti yang kita dambakan bersama.
Dalam terang Injil kita dapat melihat apa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri. Manusia itu terpanggil dan wajib mengusahakan apa yang sedang bergerak di dunia sebagai gerakan hak-hak asasi manusia. Dalam terang Injil dilihat bahwa manusia, yang diakui dan dipanggil Tuhan sebagai sahabat-Nya, hanya dapat menjawab panggilan Tuhan itu dalam solidaritas. Sebab “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki ataupun perempuan, tetapi semua adalah satu di dalam Kristus” (Galatia 3:28).
Pengalaman menarik bisa kita lihat dari pengalaman umat Allah dalam Perjanjian Lama yang sangat menentukan sejarah selanjutnya, yaitu pengalaman pembebasan ketika martabat manusia mereka yang diinjak-injak ditegakkan kembali, ketika hak-hak asasi yang dirampas dikembalikan lagi.
Dalam Kitab Ulangan kita bisa menemukan apa yang dialami oleh Bangsa Israel: ”Kemudian engkau harus menyatakan di hadapan Tuhan, Allahmu, demikian: Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda serta mujizat-mujizat.Ia membawa kami ke tempat ini, dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. (Lihat Ulangan 26:5-9).
Maka sejak dari kisah ini, maka sejarah keselamatan adalah sejarah pembebasan, yang di dalam nya kita melihat perhatian khusus Tuhan akan kaum miskin dan yang tertindas. Tuhan sungguh mendengarkan orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya dalam tahanan” (Mazmur 69:34). Maka perlu diingat bahwa hak-hak asasi manusia pertama-tama harus diperjuangkan bagi yang lemah, yang tidak berdaya dalam masyarakat. Dasar dari tindakan ini adalah tindakan Tuhan sendiri yang melindungi orang yang tidak memiliki kekuatan.
Nah, belajar dari kasus diatas, dan dari apa hyang seharusnya kita perjuangkan dalam perjalanan hidup kita ini, kiranya sekarang kita harus berani mengubah diri kita sendiri. Kalau hanya berharap kepada orang lain tentang keadilan dan menuntut keadilan itu sulit. Mari kita mengembangkannya melalui dan dari dalam diri kita sendiri. Bagaimana caranya, yaitu dengan mengembangkan sikap murah hati dan mau membantu sesama terlebih yang miskin dan tak berdaya. Jangan sampai diri kita dibutakan oleh kepentingan pribadi yang hanya mencari dan menemukan kepuasan diri sendiri.
Apakah kita bisa? Inilah yang menjadi tantangan kita. BISA, asal kita terus menerus mengembangkannya dalam diri kita dengan tanpa kenal lelah. Kalau orang lain tidak adil kepada kita, maka jangan sampai kita melakukan yang sama kepada sesama. Kita harus menjadi pelita yang membawa terang bagi sesama.

Selasa, 10 April 2012

Gereja yang Kudus

OLEH: RD. YAKOBUS BUDI NUROTO
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Puji Syukur hlm. 1). Oleh karenanya iman mesti dijaga, dirumuskan dan diwujudkan. Rumusan syahadat iman Gereja Katolik terungkap dalam Kredo (Credo= Aku Percaya). Dalam syahadat tersebut – Syahadat Para Rasul dan Hasil Konsili Nikea (325) Konstantinopel (381) – terungkap iman kepercayaan Gereja akan Allah Tritunggal; Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik; pengampunan dosa, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal.
Gereja adalah satu, kudus, katolik dan apostolik. Gereja kudus bukan karena setiap anggotanya (sudah) kudus melainkan karena Gereja senantiasa dipanggil kepada kekudusan: “Sebab Kristus, Putera Allah, yang bersama Bapa dan Roh dipuji bahwa ‘hanya Dialah Kudus’, mengasihi Gereja sebagai mempelaiNya. Kristus menyerahkan diri baginya, untuk menguduskannya” (Lumen Gentium 39). Kristuslah yang membuat Gereja kudus.
Kekudusan itu terungkap dalam aneka cara yang dibuat oleh para anggotanya. Semua dan/atau setiap anggota dipanggil untuk mengambil bagian dalam satu kekudusan Gereja. Kekudusan bukanlah soal bentuk pelaksanaan melainkan lebih pada sikap dasarnya. Kudus lebih dari sekedar masalah tempat, waktu, barang atau orang. Karena kudus berarti ‘yang dikhususkan bagi Tuhan’. Kudus menyangkut semua bidang sakral keagamaan yang berada di lingkup kehidupan Tuhan.
Kudus pertama-tama bukanlah kategori moral melainkan teologal. Karena kudus bukanlah pertama-tama soal kelakuan manusia melainkan lebih pada hubungannya dengan Allah. Hal ini bukan berarti bahwa hidup yang sesuai dengan kaidah moral tidak penting. Tetapi kedekatan dengan Allah jauh lebih penting. Karena dari seorang yang telah terpanggil kepada kekudusan diharapkan menanggapinya dalam kehidupan sesuai dengan kaidah moral. Dengan kata lain, apa yang dikhususkan bagi Tuhan haruslah sempurna, dan ukuran kesempurnaan manusia itu ada dalam taraf moral kehidupannya.
Kudus adalah karya Roh (2Tesalonika 2:13) dan panggilan bagi semua dan/atau setiap manusia (Roma 1:7). Manusia akan menjadi kudus bila sungguh mau menanggapi karya Allah terutama dalam sikap iman dan harapan yang mewujud dalam peri hidup kasih: mendengarkan sabdaNya, melaksanakan kehendakNya, menerima sakramen-sakramen, tabah dalam doa, mengingkari diri, aktif melayani sesama, dan mengamalkan keutamaan-keutamaan (Lumen Gentium 42).
Kudus bukanlah soal bentuk kehidupan, melainkan sikap yang diwujudnyatakan dalam hidup keseharian. “…semua orang kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala sesuatu dari tangan Bapa di surga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia” (Lumen Gentium 41).
Akhirnya, Gereja itu memang sungguh kudus, namun sekaligus harus selalu dibersihkan serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan (Lumen Gentium 8). Dengan demikian kesucian Gereja adalah kesucian perjuangan yang terus-menerus.