Rabu, 04 Juli 2012

Jangan Takut, Percaya Saja!

RD. Adrianus Akik Purwanto


Bahasa yang kita pakai sehari-hari sering kali sangat tepat. Tampaknya memang aneh karena kata-kata itu melampaui apa yang secara sadar ingin kita utarakan. Jika kita berkata bahwa seseorang membuat kita ‘sakit leher’, ungkapan ini hanya untuk menyatakan bagaimana kita merasa terganggu sampai tubuh kita dapat merekamnya! Salah satu kesan paling buruk yang dapat kita katakan tentang seseorang ialah bahwa orang itu mengerikan. Mungkin ia adalah orang yang mengerikan karena perbuatan atau perkataannya, karena penampilan atau tingkah lakunya. Tetapi, satu hal yang pasti ialah mereka adalah orang yang mengerikan, yaitu, orang yang penuh ketakutan. Cerita tentang kehidupan manusia, hampir sebagian besar dari kepedihan dan apa yang kita sebut dosa, disebabkan karena seseorang tidak merasa aman, atau dengan kata lain, disebabkan oleh rasa takut
Kata-kata Yesus dalam bacaan Injil di perayaan ekaristi hari Minggu ini ialah, “Jangan takut, percaya saja!" (Injil Markus 5:36). Ucapan Yesus ini sangat menarik karena kebenaran yang terkandung dalam kata-kata itu. Kata-kata ini menjadi penting karena diletakkan di antara dua cerita tentang orang-orang yang penuh ketakutan.
Yairus mempunyai kedudukan yang penting. Ia adalah kepala rumah ibadat. Kendati ia mempunyai kedudukan, ia tersungkur bagai seorang pengemis, di depan kaki Yesus dan memohon pertolongan-Nya. Yairus adalah ayah yang ketakutan. Anak perempuannya yang berumur dua belas tahun sedang sakit keras, maka ia mendambakan pertolongan dari orang yang dapat menyembuhkannya. Keberanian dan kepercayaannya, bersumber dari rasa takutnya. Yesus tidak mengatakan apa-apa, tidak menjanjikan apa-apa, tetapi pergi bersama Yairus.
Perjalanan mereka diganggu oleh seorang penderita lain dengan penyakit yang mengerikan. Selama dua belas tahun seorang perempuan yang menderita pendarahan yang tidak dapat disembuhkan, suatu penderitaan berat karena siapa saja yang menyentuhnya, menjadi najis. Ia telah menghabiskan semua uang yang ada padanya untuk mendapatkan kesembuhan. Harapannya yang terakhir adalah datang kepada Yesus. Dengan rasa takut ia berdesak-desakan di tengah-tengah orang banyak. Ia mendekati Yesus dan menjamah jubah-Nya. Yesus mengetahui bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya. Namun, Ia ingin lebih menyembuhkan perempuan itu bukan hanya penyakitnya saja. Maka Yesus menyuruhnya berdiri di depan orang banyak untuk diakui imannya, diakui bahwa ia sekarang sudah tahir, supaya ia tidak mempunyai alasan lagi untuk merasa takut dan gelisah.
Lalu, datanglah berita bahwa anak perempuan Yairus telah meninggal. Yesus berkata kepada ayahnya, "Jangan takut, percaya saja!" Dengan tidak menghiraukan ratapan mereka yang berkabung dan sindiran dari orang-orang sekitar, Yesus membawa serta orangtua dan mereka yang mengikuti Dia masuk ke kamar. Lalu dipegang tangan anak itu, kata-Nya, "Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!" dan anak itu menuruti perintah-Nya. Akhirnya bagi Yairus tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.
Sering kali kita berdoa dengan penuh rasa takut. Kita begitu takut, bahkan kita juga takut untuk mempercayakan diri kita ke dalam tangan Tuhan yang penuh kasih. Karena ketakutan kita, kita membatasi Dia dengan kata-kata dan tuntutan-tuntutan kita. Bila kita sadar bahwa Allah selalu memberi kita yang terbaik, juga jika kita dapat mengandalkan dan percaya bahwa di bawah naungan-Nya selalu ada kasih, maka tentunya kita dapat menyerahkan diri pada-Nya dan tidak ketakutan lagi. Inilah yang terjadi pada kita ketika bermeditasi. Kita diam dan percaya pada Allah dengan hanya mengucapkan kata-doa kita dan secara berangsur-angsur Allah menghapus ketakutan kita. (Dari: Gerry Pierse CCSsR)

Berilah Kami Rezeki

 RD. Agus Wijatmiko
“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah,” demikian salah satu ajaran dari Mahatma Gandhi. Tentu saja Gandhi bukan tanpa sebab  berkata-kata demikian. Situasi India yang dia lihat sungguh mencermin jurang perbedaan yang sangat lebar antara si miskin dan si kaya. Gandhi memiliki keyakinan bahwa bumi yang diciptakan oleh Tuhan sebenarnya sangat mencukupi untuk semua mahluk yang hidup di dalamnya. Namun dalam kenyataannya masih begitu banyak manusia-manusia yang harus berada dalam kemiskinan dan kelaparan.
Kemiskinan dan kelaparan yang terjadi bukanlah yang ditentukan oleh Tuhan tetapi terkadang menjadi situasi yang terjadi karena ketidak-adilan. Manusia sendirilah yang menciptakan jurang yang lebar. Ketamakan manusialah yang menjadi penyebab ketidak-adilan itu. Ketamakan manusia telah ada sejak manusia ada di muka bumi. Kisah yang paling klasik adalah Kain dan Habel menjadi salah satu sejarah yang mengawali bagaimana Kain putra  Adam oleh sebab keserakahannya akhirnya membunuh Habel, adiknya (bdk. Kej 4: 3-8). Manusia memang cenderung menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus), dan seringkali menjadi korban adalah orang-orang yang paling lemah di masyarakat.
Dalam kisah penciptaan, ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia telah menyiapkan segala sesuatunya bagi hidup manusia (bdk. Kej 1: 1-31). Tuhan tidak membiarkan manusia hidup dalam penderitaan kemiskinan dan kelaparan. Tuhan yang peduli akan hidup manusia kembali diingatkan oleh Yesus Kristus melalui doa yang diajarkan kepada para murid-Nya, yaitu doa Bapa Kami. Di dalam doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan agar kita secara pribadi memohon agar Tuhan memberikan rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.
Yesus mengajarkan kepada semua manusia untuk memohon kepada Tuhan seperti kita memohon kepada Bapa kita sendiri. Kita diajarkan untuk memohon segala sesuatu yang penting bagi hidup kita. Dengan mengajukan permohonan kepada Tuhan, sebenarnya kita diundang Tuhan Yesus untuk mengakui kebaikan-Nya yang tiada taranya. Kebaikan Tuhan itu tidak pilih kasih; Dia yang menciptakan matahari baik bagi orang yang baik maupun bagi orang jahat, baik bagi orang yang saleh mamupun bagi seorang koruptor.
Dalam Doa Bapa Kami ada ungkapan “berilah kami rejeki pada hari ini” yang secara eksplisit mau mengatakan bahwa rejeki itu bukan hanya milik pribadi yang berdoa kepada Tuhan namun juga milik semua manusia. Karena Tuhan itu bukan hanya milik pribadi-pribadi tertentu melainkan juga Tuhan bagi semua manusia. Ungkapan ‘berilah kami’ juga merupakan ungkapan perjanjian bahwa kita ini adalah milik Tuhan dan pengakuan kita bahwa Tuhan senantiasa memperhatikan apa yang kita butuhkan untuk hidup. Dan melalui kata “kami” kita mengakui bahwa Tuhan adalah Bapa semua manusia. Maka ketika kita berdoa kepada Tuhan, kita berdoa pula bagi semua manusia sambil menjadikan kebutuhan dan penderitaan orang-orang yang menderita sebagai keprihatinan kita juga yang berdoa memohon rejeki kepada Tuhan.
Ungkapan “rejeki” merupakan ungkapan keyakinan bahwa Tuhan yang senantiasa memperhatikan hidup kita pasti akan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani yang berguna bagi kehidupan kita. Dalam kotbah di bukit, Yesus mengajarkan sebuah kepercayaan di mana kita merasa terjamin dalam penyelenggaraan Bapa. Dengan itu  Yesus menginginkan agar kita dibebaskan dari segala kesusahan dan kecemasan. Ada orang yang lapar karena mereka tidak mempunyai makanan. Kenyataan ini mengungkapkan satu arti yang lebih dalam dari permohonan “berilah kami rejeki”. Kelaparan di dunia yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari mengajak semua orang kristen yang mau berdoa secara jujur supaya melaksanakan tanggung jawabnya terhadap mereka yang kelaparan baik secara jasmani maupun rohani. Hal ini berkaitan dengan sikap pribadi kita untuk bersolider dengan seluruh umat manusia terutama mereka yang sedang mengalami kelaparan. Oleh sebab itu ketika kita berdoa Bapa Kami secara jujur, maka kita juga mendoakan mereka yang sedang mengalami penderitaan dan kita terpanggil untuk memberikan mereka makan baik makanan jasmani maupun makanan rohani. Masih banyak orang yang menderita sebagai korban ketidak-adilan. Oleh sebab itu dengan berdasarkan doa Bapa kami di mana kita memohon kepada Tuhan agar memberikan kita rejeki pada hari ini, maka kita terpanggil juga untuk memperhatikan dan memberikan makanan bagi sesama kita yang menderita.

Senin, 18 Juni 2012

Tuhan Menghendaki Semua Orang Masuk Surga


RD. Sabas Kusnugroho
Belakangan ini masih riuh (terutama di kalangan orang-orang Katolik) untuk menikmati  (menonton) film perjuangan dengan judul Soegija yang disutradarai Garin Nugroho. Namun tiada salahnya saya akan mengajak Anda untuk menengok juga  sebuah film kategori drama pendidikan  yang diputar pertama tahun 1998 dan memperoleh penghargaan terbaik Festifal Film Vinence 1999. Film ini berjudul “Not One Less” yang disutradarai Zhang Yimou. 
Dalam film ini dikisahkan seorang anak remaja (lulusan SLTP) yang mendapat kepercayaan untuk menjadi guru di sebuah sekolah rakyat  di kampung; yang bangunannya mau ambruk. Sementara murid yang tersisa hanya tinggal 28 anak dengan tingkat permasalahan yang sangat tinggi. Sang Guru (Pak Gao) berpesan suapaya jangan ada seorang anak pun yang meninggalkan (tidak) sekolah.  
Ketika suatu pagi didapatinya ada sebuah bangku yang kosong; sang guru yang lugu ini bingung tak karuan, maka ia mencari informasi kemana anaknya pergi. Ternyata sang anak terpaksa pergi ke kota mencari kerja untuk membantu keluarganya yang terlilit hutang dan jatuh melarat. Dengan berbagai cara (yang sangat tidak mudah) sang guru pergi ke kota dan membawa kembali anak didiknya ke meja belajar di kampung.
Ibarat seorang guru yang lugu tadi, Tuhan juga memiliki harapan yang sangat sederhana kepada setiap orang; supaya semua saja dapat memperoleh kebahagiaan; atau sering dibahasakan dengan ungkapan kata surga. Surga itu bukan hanya diartikan sebagai suatu tempat yang utopis; atau waktu kekalan yang masih akan terjadi kelak setelah kita mati. Menurut pandangan iman Katolik; surga itu kata lain dengan apa yang disebut sebagai Kerajaan Allah. 
Kerajaan Allah artinya; suasana atau situasi dimana Allah (Tuhan) merajai hati setiap manusia (bukan sebuah bentuk negara atau kerajaan teokratis) . Tuhan bertahta  di dalam hati manusia. Tuhan yang merajai hati manusia; tidak  hanya menunggu besok ketika di akhirat atau menunggu kiamat; tetapi juga sudah terjadi di dunia ini dan saat ini (hic et nunc = di sini dan sekarang). 
Indikator Tuhan yang meraja didapati pada tiap pribadi yang hatinya damai. Dari hati yang damai ini niscaya mengalirkan budaya yang mengutamkan kebaikan, berlaku adil, tidak latah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, berani menempuh jalan diaolog, menghargai perbedaan,  berani bekerja keras dan pantang memakai jalan pintas,  rela berkorban dan berbagi, serta mengutamakan mereka yang lemah.
Harapan kedamaian manusia adalah Kehendak kedamaian Tuhan juga; bahkan Dia merindukan tak seorangpun hilang dari kerajaan damai-Nya. 

Senin, 11 Juni 2012

Menghayati Ekaristi


RD. A. Luluk Widyawan 
Orang Katolik menghidupi, mendoakan dan merayakan seluruh rahasia keselamatan llahi dalam Liturgi Suci. Untuk semakin memperdalam pengetahuan dan praktek yang benar dalam berliturgi telah berlangsung katekese tentang Liturgi Ekaristi dan akan diadakan Konggres Ekaristi. Ini semua agar liturgi semakin dipraktekkan dan dihayati secara benar, sehingga rahmat keselamatan Kristus makin berbuah dan berlimpah. Beberapa hal yang penting dalam menghayati liturgi Ekaristi ialah persiapan, pewartaan Sabda, penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam Sakramen Mahakudus dan penghayatan Ekaristi dalam keseharian.
Mempersiapkan
Ekaristi, tidak bisa dilepaskan dengan persiapan. Persiapan membuat mantap merayakan Ekaristi. Persiapan itu antara lain membaca Kitab Suci yang akan dijadikan bacaan pada hari tersebut. Hal ini dapat diketahui dari sabda atau sikap Yesus dalam perikop tersebut. Tentu dengan memperhatikan konteks kisah di mana Yesus menyampaikan sabda atau sikapNya.
Bacaan Injil selalu dikaitkan dengan masa dalam penanggalan liturgi. Dalam hal ini, konteks Injil dan bagaimanana sabda Yesus dalam konteks tersebut, selalu dikaitkan dengan konteks sekarang berkenaan dengan tema tertentu dan apa pesan yang akan disampaikan dalam konteks sekarang. Memang pewartaan sabda dalam Ekaristi selalu menjadi bagian yang terpenting, yang bisa direnungkan, dibawa pulang sebagai bekal dalam kehidupan, sebagai refleksi untuk menilai diri dalam menghayati menjadi pengikut Yesus, tawaran sekaligus tantangan untuk diwujudkan.
Selain persiapan pewartaan sabda, tak kalah penting ialah persiapan fisik dan mental. Persiapan ini lebih berkenaan dengan menata agar seluruh jiwa dan raga pantas untuk mengikuti Ekaristi. Paling tidak ada kesempatan untuk hening sejenak. Kesempatan hening dalam doa yang singkat, menjadi kesempatan  memohon kepada Tuhan agar Ekaristi yang akan dilakukan menjadi tanda kehadiran Tuhan.
Mendengarkan Sabda
Sabda Tuhan adalah sabda kebenaran dan kehidupan. Sabda Tuhan adalah kebenaran, meskipun terkadang tidak mudah dipahami, tidak mudah dijadikan pegangan, tidak mudah diwujudkan. Entah karena suasana hati saat itu, karena konteks ketika sabda itu dibawakan atau karena tawaran jaman yang seringkali bertentangan.
Namun sabda Tuhan adalah kebenaran yang harus terus dimengerti secara perlahan, dikaitkan dengan suasana hati, konteks atau tawaran jaman sehingga pada akhirnya menjadi tawaran. Tawaran bagi mereka yang mau mengikuti jalan Tuhan.
Inilah yang kemudian menjadi sabda yang menghidupkan. Tetap meyakini sabdaNya sekalipun tidak mudah memahami, menjadikannya sebagai pegangan dan pelan-pelan mewujudkan meskipun ada semacam banyak halangan. Justru di situ arti menghidupkan menjadi nyata, ketika tidak mudah, ketika ada halangan namun tetap selalu memohon campur tanganNya lewat doa.

Memang terkadang sabda Tuhan sungguh menjadi penghiburan yang memberi kekuatan, menjadi semangat untuk melangkah dalam kehidupan. Ada kalanya sabdaNya menjadi teguran, yang mengkritik diri sang pewarta dan pendegarnya kembali ke jalan yang benar dan memperbaiki diri sesuai dengan ajaranNya.
Karena sabdaNya adalah kabar gembira, maka mewartakan sabdaNya adalah sebuah kesukaan besar. Tetap menaburkan sabda, meskipun terkadang seperti tidak ada hasilnya. Karena ibarat benih, sabda bisa jatuh ke tanah kering, tanah berbatu atau tanah yang subur. Dengan keyakinan, bahwa di antara sabda yang ditabur adalah benih yang niscaya  ada yang jatuh di tanah subur, meskipun mungkin hanya satu, sedikit atau tidak kelihatan.
Mengalami Kehadiran
Kesempatan liturgi ekaristi ialah, kesempatan yang terasa sangat dekat denganNya. Ia dikenangkan, dihadirkan kembali dan dijadikan korban yang memberi hidup. Yesus sendiri telah berpesan, lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku.
Ritual yang dilakukan Yesus seharusnya memberi inspirasi. Karena pada saat perjamuan terakhir Ia mengungkapkan kesatuan dalam persekutuan bersama para murid. Perjamuan merupakan saat yang sungguh sangat dekat untuk terus dan kembali bersatu dengan Yesus. Dalam persatuan itu, Yesus mengungkapkan pentingnya saling melayani dengan membasuh kaki. Tidak hanya itu, persekutuan itu juga menekankan pentingnya, rela berkorban, bahkan mengorbankan diri untuk sesama.
Ketika menghadirkan kembali korban Yesus yang satu dan sama, mengingatkan kembali bahwa demikianlah seharusnya, ialah saling melayani dan mengorbankan diri sebagaimana yang diajarkan Yesus. Yang seharusnya tidak cukup disambut dengan memandang atau menunduk hormat, tetapi setuju dan siap melakukan simbolisasi itu dalam kehidupan nyata sehingga tercipta persekutuan kasih yang sesungguhnya.
Kehadiran Yesus sungguh nyata dalam Ekaristi, tidak terbantahkan dalam imam. Kepercayaan akan daya Roh, yang akan menguduskan persembahan agar menjadi Tubuh dan Darah PuteraMu merupakan campur tangan Tuhan sendiri, melalui tangan seorang imam. Dengan demikian roti dan anggur menjadi sarana bagi kehadiran Tuhan.
Yesus yang hadir sungguh luar biasa, yang agung, kudus, yang Illahi hadir. Tetapi sekaligus  memberikan diri, mengorbankan diri kepada manusia yang lemah ini, sungguh memberi semangat dan kekuatan bagi manusia yang merasa diri tak layak. Ia mau hadir untuk menyertai dan menguatkan manusia di tengah dunia.
KehadiranNya dalam komuni suci, sungguh pengalaman yang melegakan, bagi mereka yang letih, lesu dan berbeban. Bagi mereka yang sakit, kehadiranNya menyembuhkan. Bagi mereka yang berdosa, tak pantas, kehadiranNya adalah sapaan yang hangat, tanpa penolakan. Sungguh, Sakramen Mahakudus ialah Allah yang mau bersolider hadir dalam suka duka kecemasan manusia. Allah yang bahkan rela mengorbankan diri, mau dipecah-pecah dan dibagi agar manusia selamat.
Menghayati dalam Keseharian
Yesus telah memberikan amanat dalam Perjamuan Malam terakhir, lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku. Ekaristi memang merupakan amanat Yesus untuk melaksanakan suatu perayaan liturgi. Namun tidak hanya itu, Ia juga memberi amanat untuk melakukan karya cinta kasih bagi sesama, sebagaimana diteladankanNya dengan cara simbolis membasuh kaki para murid. Ada keterkaitan utuh di antara, cultus dan caritas dari amanat Yesus. Ritus atau cultus yang dipahami dan dihayati dengan baik, menjadi sumber yang mengantar umat beriman mengamalkan kasih atau caritas, kepada sesama.
Seringkali inilah yang tidak mudah dan sekaligus menjadi suatu tantangan. Perayaan ekaristi  menjadi kesempatan yang indah dan agung tidak terbatas dalam ritual, tetapi perlu diwujudkan dalam hidup sosial.  

Dimuliakanlah Nama-Mu


Rm. Agustinus Eko Wiyono, Pr 
Bagaimana cara memuji dan memuliakan nama Tuhan itu? Apakah dengan berseru nama Tuhan-Tuhan dan memanggilnya dengan suara kita, itu sudah dikatakan memuji dan memuliakan nama Tuhan? atau ada tindakan lain yang bisa kita lakukan untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan Allah yang kita sembah dalam hidup kita? Apakah dengan melakukan tindakan baik, amal kasih kepada sesama dan mengorbankan diri kita sendiri untuk Tuhan dan sesama itu berarti kita juga telah meluhurkan nama Tuhan? apakah hanya melalui doa yang kita lantunkan dengan kata-kata yang indah saja, Tuhan itu dimuliakan oleh manusia?
Kita lihat saja apa yang kita doakan dalam doa yang diajarkan Yesus sendiri memuliakan doa Bapa Kami.
Permohonan pertama dalam terjemahan yang lazim dipakai umat Katolik di Indonesia berbunyi: "dimuliakanlah nama-Mu". Terjemahan lebih harfiah ialah: "dikuduskanlah nama-Mu".  Perkataan "kuduskan" di sini tidak boleh dimengerti dalam arti menyebabkan (hanya Allah menguduskan, membuat kudus) tetapi terutama dalam arti penilaian: mengakui sesuatu sebagai kudus dan memperlakukannya demikian. Karena itu seruan "dikuduskanlah..." dalam penyembahan kadang-kadang diartikan sebagai pujian dan syukur (Bdk. Mzm 111:9; Luk 1:49). Tetapi permohonan ini diajarkan oleh Yesus kepada kita dalam bentuk keinginan: inilah satu permohonan, satu kerinduan dan satu penantian di mana Allah dan manusia ikut terlibat. 
Permohonan pertama dari Bapa Kami sudah langsung membenamkan kita ke dalam misteri ke-Allah-an-Nya dan ke dalam karya keselamatan bagi umat manusia. Permohonan kita bahwa nama-Nya dikuduskan, memasukkan kita ke dalam "keputusan penuh rahmat yang diambil lebih dahulu" supaya dalam cinta,  kita hidup kudus dan tak bercela di hadapan Allah.  Tuhan menyatakan nama-Nya dalam kejadian-kejadian yang menentukan dalam tata keselamatan-Nya, di mana Ia menyelesaikan karya-Nya. Tetapi karya ini terjadi untuk kita dan di dalam kita hanya, apabila nama-Nya dikuduskan oleh kita dan di dalam kita. 
Kekudusan Allah adalah pusat misteri-Nya yang kekal, yang sukar didekati. Apa yang nyata tentang Dia dalam ciptaan dan dalam sejarah, dinamakan Kitab Suci kemuliaan, pancaran kemuliaan-Nya ( Bdk. Mzm 8; Yes 6:3). Allah memahkotai manusia "dengan kemuliaan dan hormat" (Mzm 8:6), karena Ia menciptakannya sebagai "gambar", seturut "rupa"-Nya (Kej 1:26). Tetapi oleh karena dosa, manusia "telah kehilangan kemuliaan Allah" (Rm 3:23). Dengan demikian Allah menyatakan kekudusan-Nya, dengan menyatakan dan menyampaikan nama-Nya, untuk menciptakan manusia baru "menurut gambaran Khaliknya" (Kol 3: 10).
Oleh janji kepada Abraham dan sumpah yang menguatkannya, Allah mewajibkan Diri, tetapi tanpa menyingkap nama-Nya. Baru kepada Musa Ia mulai menyatakannya dan Ia memperlihatkan nama-Nya itu di depan mata seluruh bangsa, dengan membebaskan mereka dari orang Mesir: "Ia menjadi tinggi
luhur" (Kel 15:1). Sejak perjanjian di Sinai bangsa ini menjadi milik-Nya; Ia 477 dipanggil untuk menjadi bangsa yang "kudus" (atau "ditahbiskan" - dalam bahasa Ibrani kata yang sama) karena nama Allah berdiam di dalamnya.  Allah, Yang Kudus  selalu secara baru lagi memberi kepada bangsa ini hukum yang kudus dan dengan memperhatikan nama-Nya sendiri, Ia selalu bersabar. Tetapi bangsa ini berpaling dari Yang Kudus Israel dan menajiskan nama-Nya di antara bangsa-bangsa. Karena itu orang-orang jujur dari Perjanjian Lama, orang miskin yang telah kembali dari pembuangan dan para nabi dipenuhi oleh semangat yang bernyala-nyala untuk nama-Nya.  Akhirnya dinyatakan dan diberikan kepada kita di dalam Yesus, nama Allah yang kudus di dalam daging sebagai penyelamat (Bdk. Mat 1:21; Luk 1:31). Ia dinyatakan oleh
pribadi-Nya, kata-kata-Nya dan oleh kurban-Nya (Bdk. Yoh 8:28; 17:8; 17:17-19).
Inilah inti doa Imam Agung: Bapa yang kudus "Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya
mereka pun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17:19). Oleh karena Yesus sendiri "menguduskan" nama-Nya,  maka Ia "mewahyukan" nama Bapa (Yoh 17:6). Pada akhir Paska-Nya, Bapa menganugerahkan kepada-Nya nama yang lebih besar daripada segala nama: Yesus adalah Tuhan demi kemuliaan Allah, Bapa

Dalam air Pembaptisan kita telah dibersihkan, dikuduskan, dan "dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita" (1 Kor 6:11). Allah telah memanggil kita, supaya "menjadi kudus" dalam seluruh kehidupan kita ( 1 Tes 4:7): "Oleh Dia kamu berada dalam Yesus Kristus, yang oleh Allah telah menjadi
kekudusan bagi kita" (1 Kor 1:30). Permohonan, agar nama-Nya dikuduskan di dalam kita dan oleh kita, menyangkut kehormatan-Nya dan kehidupan kita. Karena itu permohonan pertama sangat mendesak. "Oleh siapa Allah dapat dikuduskan, karena Dia sendiri yang menguduskan? Tetapi karena Ia sendiri telah mengatakan: 'Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, Tuhan, kudus'(Im 20:26), kita lalu memohon, bahwa kita yang dikuduskan dalam Pembaptisan, berpegang teguh pada keberadaan yang telah
mulai diberikan kepada kita. Dan untuk itu kita berdoa hari demi hari; karena kita membutuhkan pengudusan setiap hari, supaya kita yang berdosa setiap hari, dapat membersihkan lagi dosa-dosa kita oleh pembasuhan yang terus menerus
... Kita berdoa, supaya pengudusan ini tinggal di dalam kita" Bergantung pada kehidupan dan sekaligus pada doa kita apakah nama-Nya dikuduskan di antara bangsa-bangsa: "Kita berdoa, agar Allah menguduskan nama-Nya, yang oleh kekudusan-Nya menyelamatkan dan menguduskan seluruh ciptaan ... Itulah nama yang memberikan kembali keselamatan, yang telah hilang, kepada dunia. Tetapi kita berdoa, supaya nama Allah dikuduskan di dalam kita oleh kehidupan kita.
Kalau kita berbuat baik, nama Allah dipuji; kalau kita berbuat buruk, maka Ia akan dihujah sesuai dengan perkataan Rasul: 'Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujah di antara bangsa-bangsa' (Rm 2:24; Yeh 36:20-22). Karena itu kita berdoa, supaya memperoleh sekian banyak kekudusan di dalam
hati kita, sebagaimana nama Allah kudus adanya" 
"Kalau kita mengatakan: 'dikuduskanlah nama-Mu', kita berdoa, agar Ia dikuduskan di dalam kita yang sudah menjadi milik-Nya, demikian pula di dalam orang lain yang masih dinantikan rahmat Allah, sehingga dengan demikian kita juga patuh kepada peraturan, supaya berdoa bagi semua orang, juga bagi musuh-musuh kita. Karena itu, kita tidak secara khusus berdoa 'dikuduskanlah nama-Mu di dalam kami', karena kita berdoa agar Ia dikuduskan dalam semua manusia". Kita meneladan doa Yesus sendiri, Yesus berdoa dalam doa Imam Agung-Nya: "Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku" (Yoh 17:11). Mari memuji dan meluhurkan nama Tuhan. Amin.

Senin, 28 Mei 2012

Karya Manusia Cerminan Keindahan Sang Pencipta



RD. Yohanes Rudianada
Di sebuah taman terlihat kupu-kupu beterbangan yang berwarna-warni begitu indah. Keindahannya semarak mewarnai bumi. Dan sungguh keindahan ini tidak akan pernah bisa dibuat oleh manusia. Karena keindahannya milik Sang Pencipta. Manusia lebih dari kupu-kupu, ia diciptakan secitra dengan Allah. Entah sadar atau tidak manusia adalah cerminan keindahan Sang Pencipta. Manusia tidak sekedar ada untuk dirinya. Ia ada karena kehendak Allah. Dan Allah menciptakannya begitu indah. Kenyataan inilah yang membuat manusia sangat berharga, bahkan kehadiran satu manusia tidak akan pernah bisa digantikan dengan manusia yang lain. Karena manusia unik adanya. Lalu bagaimana manusia sebagai cerminan keindahan Sang Pencipta ini berperan dalam melaksanakan kehendak Sang Pencipta? Manusia sama dengan kupu-kupu, sama-sama memancarkan keindahan Sang Pencipta. Sama-sama ikut mewarnai dunia. Namun manusia lebih dari sekedar kupu-kupu, karena manusia mewarnai dunia dengan karya dan pelayanan kepada sesama yang diabdikan kepada Allah.      Sebelum menjadi kupu-kupu, masa kepompong harus dilewati. Untuk mampu mewarnai dunia, manusia juga harus melewati masa kepompong ini. Inilah tahap dimana sebagai manusia harus bergulat untuk menemukan dirinya. Manusia harus berupaya keras melihat dirinya dengan sungguh. Proses ini adalah refleksi diri, melihat segala sesuatu tentang dirinya, terlebih melihat segala anugerah yang telah diberikan Allah. Hal ini sangat penting bagi pertumbuhan manusia. Hanya dengan melihat diri, manusia dimampukan melihat dunia. 
Dunia sebagai tempat berpijak manusia membawa konsekuensi yang tidak mudah. Manusia juga harus bertanggungjawab terhadap dunia ini. Karya dipahami sebagai ungkapan terdalam dari manusia. Ungkapan mengenai siapa dirinya, keinginannya, dan kehadirannya di tengah sesama dan dunia. Karya sebagai ungkapan diri manusia tentu mengandung makna tersendiri. Karena karakternya yang dalam dari sebuah karya maka karya ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Dan inilah sebenarnya ketika manusia telah sampai pada karya berarti dia telah berani mengungkapkan dirinya. Konsili Vatikan II menuliskan bahwa karya yang dilakukan manusia adalah ungkapan terdalam dari dirinya, yaitu menampilkan Sang Pencipta; “Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta mengusai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga sesudah segala sesuatu ditaklukkan oleh manusia, nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi.” (bdk. GS 34).
Begitu penting dan bernilainya sebuah karya manusia, maka tidak ada kata setengah-setangah dalam melakukan apa pun. Manusia harus mempersembahkan yang terbaik dari dirinya.  Warna-warni keindahan inilah yang kita persembahkan bagi sesama, dunia, dan Allah sendiri tentunya. Dengan demikian kebesaran Allah dinyatakan.

Senin, 21 Mei 2012

Wahyu dan Iman



Rm. Yakobus Budi Nuroto, Pr
Dalam cinta kasih-Nya, Allah memberikan Diri kepada manusia. Dengan mewahyukan Diri-Nya, Allah yang tidak kelihatan – dari kelimpahan cinta kasih-Nya – menyapa manusia sebagai sahabat-Nya; bergaul, mengundang dan menyambut kita dalam persekutuan dengan diri-Nya (Katekismus Gereja Katolik, hlm. 44).
Apa jawaban yang pantas bagi undangan ini? Jawaban yang pantas untuk undangan ini adalah iman. Dengan iman kita menaklukkan seluruh pikiran dan kehendak kita kepada Allah. Iman adalah ikatan pribadi-personal manusia dengan Allah sekaligus persetujuan bebas atas segala kebenaran yang diwahyukan-Nya.
Iman akan Allah tidak bisa kita pisahkan dari iman akan Putera-Nya yang terkasih, Yesus Kristus: “Terdengarlah suara dari surga: ‘Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mu lah Aku berkenan’" (Markus 1:11). Yesus lah Sang Sabda yang menjadi Manusia. Yesus adalah per-nyata-an Diri Allah yang definitif: nyata dan konkrit. Allah sungguh hadir: nyata dan konkrit dalam hidup, karya, wafat dan kebangkitan-Nya.
Namun kita tidak dapat percaya akan Yesus Kristus tanpa kurnia Roh Kudus; karena “Tidak ada seorang pun yang dapat mengaku: ‘Yesus adalah Tuhan’, selain oleh Roh Kudus” (1Kor. 12:3). Roh Kudus memampukan kita beriman semakin mendalam. Karena, meski iman adalah suatu kegiatan manusiawi namun iman tetaplah sebuah rahmat, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh-Nya. Iman membuat kita menikmati kegembiraan dan cahaya-Nya yang menyelamatkan, yang adalah tujuan dari peziarahan kita di dunia ini. 
Dengan iman, manusia terus-menerus menanggapi pewahyuan Diri Allah. Iman menjadi sebuah pengalaman perjumpaan yang dinamis yang melahirkan opsi fundamental dalam praksis hidup moral. Ketika berhadapan dengan pemberian Diri Allah, manusia ‘ditantang’ keluar dari dirinya dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah yang berbagi hidup. Roger Haight membahasakan iman sebagai sebuah keterlibatan dinamis dari segenap kemampuan dan seluruh kemerdekaan manusia yang aktif.
Pengalaman iman akan melahirkan opsi fundamental, sebuah pilihan hidup untuk menjawab sapaan Allah. Dan sebagai sebuah opsi fundamental, iman senantiasa akan berciri otonom: bebas dari dan bebas untuk, mutlak: melibatkan seluruhnya, kristiani: mengikuti Kristus dengan sungguh, menyelamatkan, dan suci: mentransformasi diri menjadi semakin suci.
Perjumpaan pribadi dengan Allah yang merupakan opsi fundamental tersebut justru tampak paling nyata dalam keterlibatan aktif sejarah manusia di dunia. Iman mewujud nyata dalam aneka tindakan moral yang dilakukan secara sadar, bebas dan sesuai dengan hati nurani. Meski dalam bertindak moral tidak membutuhkan iman, namun bagi orang beriman tindakan moral adalah perwujudan dari iman. Iman menjadi dasar dan motivasi tindakan moral.
Demikianlah, iman adalah satu peristiwa dengan tiga unsur: (1) akal budi: iman bukan gerakan jiwa yang buta melainkan aku memilihnya karena aku memahaminya sebagai sebuah kebenaran, (2) kehendak: iman bukan kesimpulan matematis melainkan opsi fundamental: kesetujuan pribadi yang bebas, dan (3) rahmat: iman adalah tanggapan atas rahmat Allah.