RD. Adrianus Akik Purwanto
Bahasa yang kita pakai sehari-hari sering kali sangat tepat.
Tampaknya memang aneh karena kata-kata itu melampaui apa yang secara
sadar ingin kita utarakan. Jika kita berkata bahwa seseorang membuat
kita ‘sakit leher’, ungkapan ini hanya untuk menyatakan bagaimana kita
merasa terganggu sampai tubuh kita dapat merekamnya! Salah satu kesan
paling buruk yang dapat kita katakan tentang seseorang ialah bahwa
orang itu mengerikan. Mungkin ia adalah orang yang mengerikan karena
perbuatan atau perkataannya, karena penampilan atau tingkah lakunya.
Tetapi, satu hal yang pasti ialah mereka adalah orang yang mengerikan,
yaitu, orang yang penuh ketakutan. Cerita tentang kehidupan manusia,
hampir sebagian besar dari kepedihan dan apa yang kita sebut dosa,
disebabkan karena seseorang tidak merasa aman, atau dengan kata lain,
disebabkan oleh rasa takut
Kata-kata Yesus dalam bacaan Injil
di perayaan ekaristi hari Minggu ini ialah, “Jangan takut, percaya
saja!" (Injil Markus 5:36). Ucapan Yesus ini sangat menarik karena
kebenaran yang terkandung dalam kata-kata itu. Kata-kata ini menjadi
penting karena diletakkan di antara dua cerita tentang orang-orang yang
penuh ketakutan.
Yairus mempunyai kedudukan yang penting. Ia
adalah kepala rumah ibadat. Kendati ia mempunyai kedudukan, ia
tersungkur bagai seorang pengemis, di depan kaki Yesus dan memohon
pertolongan-Nya. Yairus adalah ayah yang ketakutan. Anak perempuannya
yang berumur dua belas tahun sedang sakit keras, maka ia mendambakan
pertolongan dari orang yang dapat menyembuhkannya. Keberanian dan
kepercayaannya, bersumber dari rasa takutnya. Yesus tidak mengatakan
apa-apa, tidak menjanjikan apa-apa, tetapi pergi bersama Yairus.
Perjalanan
mereka diganggu oleh seorang penderita lain dengan penyakit yang
mengerikan. Selama dua belas tahun seorang perempuan yang menderita
pendarahan yang tidak dapat disembuhkan, suatu penderitaan berat karena
siapa saja yang menyentuhnya, menjadi najis. Ia telah menghabiskan
semua uang yang ada padanya untuk mendapatkan kesembuhan. Harapannya
yang terakhir adalah datang kepada Yesus. Dengan rasa takut ia
berdesak-desakan di tengah-tengah orang banyak. Ia mendekati Yesus dan
menjamah jubah-Nya. Yesus mengetahui bahwa ada tenaga yang keluar dari
diri-Nya. Namun, Ia ingin lebih menyembuhkan perempuan itu bukan hanya
penyakitnya saja. Maka Yesus menyuruhnya berdiri di depan orang banyak
untuk diakui imannya, diakui bahwa ia sekarang sudah tahir, supaya ia
tidak mempunyai alasan lagi untuk merasa takut dan gelisah.
Lalu,
datanglah berita bahwa anak perempuan Yairus telah meninggal. Yesus
berkata kepada ayahnya, "Jangan takut, percaya saja!" Dengan tidak
menghiraukan ratapan mereka yang berkabung dan sindiran dari
orang-orang sekitar, Yesus membawa serta orangtua dan mereka yang
mengikuti Dia masuk ke kamar. Lalu dipegang tangan anak itu, kata-Nya,
"Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah!" dan anak itu menuruti
perintah-Nya. Akhirnya bagi Yairus tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.
Sering
kali kita berdoa dengan penuh rasa takut. Kita begitu takut, bahkan
kita juga takut untuk mempercayakan diri kita ke dalam tangan Tuhan
yang penuh kasih. Karena ketakutan kita, kita membatasi Dia dengan
kata-kata dan tuntutan-tuntutan kita. Bila kita sadar bahwa Allah
selalu memberi kita yang terbaik, juga jika kita dapat mengandalkan dan
percaya bahwa di bawah naungan-Nya selalu ada kasih, maka tentunya kita
dapat menyerahkan diri pada-Nya dan tidak ketakutan lagi. Inilah yang
terjadi pada kita ketika bermeditasi. Kita diam dan percaya pada Allah
dengan hanya mengucapkan kata-doa kita dan secara berangsur-angsur
Allah menghapus ketakutan kita. (Dari: Gerry Pierse CCSsR)
Rabu, 04 Juli 2012
Berilah Kami Rezeki
RD. Agus Wijatmiko
“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua,
namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia
yang serakah,” demikian salah satu ajaran dari Mahatma Gandhi. Tentu
saja Gandhi bukan tanpa sebab berkata-kata demikian. Situasi India
yang dia lihat sungguh mencermin jurang perbedaan yang sangat lebar
antara si miskin dan si kaya. Gandhi memiliki keyakinan bahwa bumi yang
diciptakan oleh Tuhan sebenarnya sangat mencukupi untuk semua mahluk
yang hidup di dalamnya. Namun dalam kenyataannya masih begitu banyak
manusia-manusia yang harus berada dalam kemiskinan dan kelaparan.
Kemiskinan
dan kelaparan yang terjadi bukanlah yang ditentukan oleh Tuhan tetapi
terkadang menjadi situasi yang terjadi karena ketidak-adilan. Manusia
sendirilah yang menciptakan jurang yang lebar. Ketamakan manusialah
yang menjadi penyebab ketidak-adilan itu. Ketamakan manusia telah ada
sejak manusia ada di muka bumi. Kisah yang paling klasik adalah Kain
dan Habel menjadi salah satu sejarah yang mengawali bagaimana Kain
putra Adam oleh sebab keserakahannya akhirnya membunuh Habel, adiknya
(bdk. Kej 4: 3-8). Manusia memang cenderung menjadi serigala bagi
manusia lainnya (homo homini lupus), dan seringkali menjadi korban
adalah orang-orang yang paling lemah di masyarakat.
Dalam
kisah penciptaan, ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia telah
menyiapkan segala sesuatunya bagi hidup manusia (bdk. Kej 1: 1-31).
Tuhan tidak membiarkan manusia hidup dalam penderitaan kemiskinan dan
kelaparan. Tuhan yang peduli akan hidup manusia kembali diingatkan oleh
Yesus Kristus melalui doa yang diajarkan kepada para murid-Nya, yaitu
doa Bapa Kami. Di dalam doa Bapa Kami, Yesus mengajarkan agar kita
secara pribadi memohon agar Tuhan memberikan rejeki untuk memenuhi
kebutuhan hidup kita.
Yesus mengajarkan kepada
semua manusia untuk memohon kepada Tuhan seperti kita memohon kepada
Bapa kita sendiri. Kita diajarkan untuk memohon segala sesuatu yang
penting bagi hidup kita. Dengan mengajukan permohonan kepada Tuhan,
sebenarnya kita diundang Tuhan Yesus untuk mengakui kebaikan-Nya yang
tiada taranya. Kebaikan Tuhan itu tidak pilih kasih; Dia yang
menciptakan matahari baik bagi orang yang baik maupun bagi orang jahat,
baik bagi orang yang saleh mamupun bagi seorang koruptor.
Dalam
Doa Bapa Kami ada ungkapan “berilah kami rejeki pada hari ini” yang
secara eksplisit mau mengatakan bahwa rejeki itu bukan hanya milik
pribadi yang berdoa kepada Tuhan namun juga milik semua manusia. Karena
Tuhan itu bukan hanya milik pribadi-pribadi tertentu melainkan juga
Tuhan bagi semua manusia. Ungkapan ‘berilah kami’ juga merupakan
ungkapan perjanjian bahwa kita ini adalah milik Tuhan dan pengakuan
kita bahwa Tuhan senantiasa memperhatikan apa yang kita butuhkan untuk
hidup. Dan melalui kata “kami” kita mengakui bahwa Tuhan adalah Bapa
semua manusia. Maka ketika kita berdoa kepada Tuhan, kita berdoa pula
bagi semua manusia sambil menjadikan kebutuhan dan penderitaan
orang-orang yang menderita sebagai keprihatinan kita juga yang berdoa
memohon rejeki kepada Tuhan.
Ungkapan
“rejeki” merupakan ungkapan keyakinan bahwa Tuhan yang senantiasa
memperhatikan hidup kita pasti akan memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani yang berguna bagi kehidupan kita. Dalam kotbah di bukit, Yesus
mengajarkan sebuah kepercayaan di mana kita merasa terjamin dalam
penyelenggaraan Bapa. Dengan itu Yesus menginginkan agar kita
dibebaskan dari segala kesusahan dan kecemasan. Ada orang yang lapar
karena mereka tidak mempunyai makanan. Kenyataan ini mengungkapkan satu
arti yang lebih dalam dari permohonan “berilah kami rejeki”. Kelaparan
di dunia yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari mengajak semua
orang kristen yang mau berdoa secara jujur supaya melaksanakan tanggung
jawabnya terhadap mereka yang kelaparan baik secara jasmani maupun
rohani. Hal ini berkaitan dengan sikap pribadi kita untuk bersolider
dengan seluruh umat manusia terutama mereka yang sedang mengalami
kelaparan. Oleh sebab itu ketika kita berdoa Bapa Kami secara jujur,
maka kita juga mendoakan mereka yang sedang mengalami penderitaan dan
kita terpanggil untuk memberikan mereka makan baik makanan jasmani
maupun makanan rohani. Masih banyak orang yang menderita sebagai korban
ketidak-adilan. Oleh sebab itu dengan berdasarkan doa Bapa kami di mana
kita memohon kepada Tuhan agar memberikan kita rejeki pada hari ini,
maka kita terpanggil juga untuk memperhatikan dan memberikan makanan
bagi sesama kita yang menderita.
Senin, 18 Juni 2012
Tuhan Menghendaki Semua Orang Masuk Surga
RD. Sabas Kusnugroho
Belakangan ini masih riuh (terutama di kalangan orang-orang Katolik) untuk menikmati (menonton) film perjuangan dengan judul Soegija yang disutradarai Garin Nugroho. Namun tiada salahnya saya akan mengajak Anda untuk menengok juga sebuah film kategori drama pendidikan yang diputar pertama tahun 1998 dan memperoleh penghargaan terbaik Festifal Film Vinence 1999. Film ini berjudul “Not One Less” yang disutradarai Zhang Yimou.
Dalam film ini dikisahkan seorang anak remaja (lulusan SLTP) yang mendapat kepercayaan untuk menjadi guru di sebuah sekolah rakyat di kampung; yang bangunannya mau ambruk. Sementara murid yang tersisa hanya tinggal 28 anak dengan tingkat permasalahan yang sangat tinggi. Sang Guru (Pak Gao) berpesan suapaya jangan ada seorang anak pun yang meninggalkan (tidak) sekolah.
Ketika suatu pagi didapatinya ada sebuah bangku yang kosong; sang guru yang lugu ini bingung tak karuan, maka ia mencari informasi kemana anaknya pergi. Ternyata sang anak terpaksa pergi ke kota mencari kerja untuk membantu keluarganya yang terlilit hutang dan jatuh melarat. Dengan berbagai cara (yang sangat tidak mudah) sang guru pergi ke kota dan membawa kembali anak didiknya ke meja belajar di kampung.
Ibarat seorang guru yang lugu tadi, Tuhan juga memiliki harapan yang sangat sederhana kepada setiap orang; supaya semua saja dapat memperoleh kebahagiaan; atau sering dibahasakan dengan ungkapan kata surga. Surga itu bukan hanya diartikan sebagai suatu tempat yang utopis; atau waktu kekalan yang masih akan terjadi kelak setelah kita mati. Menurut pandangan iman Katolik; surga itu kata lain dengan apa yang disebut sebagai Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah artinya; suasana atau situasi dimana Allah (Tuhan) merajai hati setiap manusia (bukan sebuah bentuk negara atau kerajaan teokratis) . Tuhan bertahta di dalam hati manusia. Tuhan yang merajai hati manusia; tidak hanya menunggu besok ketika di akhirat atau menunggu kiamat; tetapi juga sudah terjadi di dunia ini dan saat ini (hic et nunc = di sini dan sekarang).
Indikator Tuhan yang meraja didapati pada tiap pribadi yang hatinya damai. Dari hati yang damai ini niscaya mengalirkan budaya yang mengutamkan kebaikan, berlaku adil, tidak latah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan, berani menempuh jalan diaolog, menghargai perbedaan, berani bekerja keras dan pantang memakai jalan pintas, rela berkorban dan berbagi, serta mengutamakan mereka yang lemah.
Harapan kedamaian manusia adalah Kehendak kedamaian Tuhan juga; bahkan Dia merindukan tak seorangpun hilang dari kerajaan damai-Nya.
Senin, 11 Juni 2012
Menghayati Ekaristi
RD. A. Luluk Widyawan
Orang Katolik menghidupi, mendoakan dan merayakan seluruh rahasia keselamatan llahi dalam Liturgi Suci. Untuk semakin memperdalam pengetahuan dan praktek yang benar dalam berliturgi telah berlangsung katekese tentang Liturgi Ekaristi dan akan diadakan Konggres Ekaristi. Ini semua agar liturgi semakin dipraktekkan dan dihayati secara benar, sehingga rahmat keselamatan Kristus makin berbuah dan berlimpah. Beberapa hal yang penting dalam menghayati liturgi Ekaristi ialah persiapan, pewartaan Sabda, penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam Sakramen Mahakudus dan penghayatan Ekaristi dalam keseharian.
Mempersiapkan
Mempersiapkan
Ekaristi, tidak bisa dilepaskan dengan persiapan. Persiapan membuat mantap merayakan Ekaristi. Persiapan itu antara lain membaca Kitab Suci yang akan dijadikan bacaan pada hari tersebut. Hal ini dapat diketahui dari sabda atau sikap Yesus dalam perikop tersebut. Tentu dengan memperhatikan konteks kisah di mana Yesus menyampaikan sabda atau sikapNya.
Bacaan Injil selalu dikaitkan dengan masa dalam penanggalan liturgi. Dalam hal ini, konteks Injil dan bagaimanana sabda Yesus dalam konteks tersebut, selalu dikaitkan dengan konteks sekarang berkenaan dengan tema tertentu dan apa pesan yang akan disampaikan dalam konteks sekarang. Memang pewartaan sabda dalam Ekaristi selalu menjadi bagian yang terpenting, yang bisa direnungkan, dibawa pulang sebagai bekal dalam kehidupan, sebagai refleksi untuk menilai diri dalam menghayati menjadi pengikut Yesus, tawaran sekaligus tantangan untuk diwujudkan.
Selain persiapan pewartaan sabda, tak kalah penting ialah persiapan fisik dan mental. Persiapan ini lebih berkenaan dengan menata agar seluruh jiwa dan raga pantas untuk mengikuti Ekaristi. Paling tidak ada kesempatan untuk hening sejenak. Kesempatan hening dalam doa yang singkat, menjadi kesempatan memohon kepada Tuhan agar Ekaristi yang akan dilakukan menjadi tanda kehadiran Tuhan.
Mendengarkan Sabda
Sabda Tuhan adalah sabda kebenaran dan kehidupan. Sabda Tuhan adalah kebenaran, meskipun terkadang tidak mudah dipahami, tidak mudah dijadikan pegangan, tidak mudah diwujudkan. Entah karena suasana hati saat itu, karena konteks ketika sabda itu dibawakan atau karena tawaran jaman yang seringkali bertentangan.
Sabda Tuhan adalah sabda kebenaran dan kehidupan. Sabda Tuhan adalah kebenaran, meskipun terkadang tidak mudah dipahami, tidak mudah dijadikan pegangan, tidak mudah diwujudkan. Entah karena suasana hati saat itu, karena konteks ketika sabda itu dibawakan atau karena tawaran jaman yang seringkali bertentangan.
Namun sabda Tuhan adalah kebenaran yang harus terus dimengerti secara perlahan, dikaitkan dengan suasana hati, konteks atau tawaran jaman sehingga pada akhirnya menjadi tawaran. Tawaran bagi mereka yang mau mengikuti jalan Tuhan.
Inilah yang kemudian menjadi sabda yang menghidupkan. Tetap meyakini sabdaNya sekalipun tidak mudah memahami, menjadikannya sebagai pegangan dan pelan-pelan mewujudkan meskipun ada semacam banyak halangan. Justru di situ arti menghidupkan menjadi nyata, ketika tidak mudah, ketika ada halangan namun tetap selalu memohon campur tanganNya lewat doa.
Memang terkadang sabda Tuhan sungguh menjadi penghiburan yang memberi kekuatan, menjadi semangat untuk melangkah dalam kehidupan. Ada kalanya sabdaNya menjadi teguran, yang mengkritik diri sang pewarta dan pendegarnya kembali ke jalan yang benar dan memperbaiki diri sesuai dengan ajaranNya.
Karena sabdaNya adalah kabar gembira, maka mewartakan sabdaNya adalah sebuah kesukaan besar. Tetap menaburkan sabda, meskipun terkadang seperti tidak ada hasilnya. Karena ibarat benih, sabda bisa jatuh ke tanah kering, tanah berbatu atau tanah yang subur. Dengan keyakinan, bahwa di antara sabda yang ditabur adalah benih yang niscaya ada yang jatuh di tanah subur, meskipun mungkin hanya satu, sedikit atau tidak kelihatan.
Memang terkadang sabda Tuhan sungguh menjadi penghiburan yang memberi kekuatan, menjadi semangat untuk melangkah dalam kehidupan. Ada kalanya sabdaNya menjadi teguran, yang mengkritik diri sang pewarta dan pendegarnya kembali ke jalan yang benar dan memperbaiki diri sesuai dengan ajaranNya.
Karena sabdaNya adalah kabar gembira, maka mewartakan sabdaNya adalah sebuah kesukaan besar. Tetap menaburkan sabda, meskipun terkadang seperti tidak ada hasilnya. Karena ibarat benih, sabda bisa jatuh ke tanah kering, tanah berbatu atau tanah yang subur. Dengan keyakinan, bahwa di antara sabda yang ditabur adalah benih yang niscaya ada yang jatuh di tanah subur, meskipun mungkin hanya satu, sedikit atau tidak kelihatan.
Mengalami Kehadiran
Kesempatan liturgi ekaristi ialah, kesempatan yang terasa sangat dekat denganNya. Ia dikenangkan, dihadirkan kembali dan dijadikan korban yang memberi hidup. Yesus sendiri telah berpesan, lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku.
Kesempatan liturgi ekaristi ialah, kesempatan yang terasa sangat dekat denganNya. Ia dikenangkan, dihadirkan kembali dan dijadikan korban yang memberi hidup. Yesus sendiri telah berpesan, lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku.
Ritual yang dilakukan Yesus seharusnya memberi inspirasi. Karena pada saat perjamuan terakhir Ia mengungkapkan kesatuan dalam persekutuan bersama para murid. Perjamuan merupakan saat yang sungguh sangat dekat untuk terus dan kembali bersatu dengan Yesus. Dalam persatuan itu, Yesus mengungkapkan pentingnya saling melayani dengan membasuh kaki. Tidak hanya itu, persekutuan itu juga menekankan pentingnya, rela berkorban, bahkan mengorbankan diri untuk sesama.
Ketika menghadirkan kembali korban Yesus yang satu dan sama, mengingatkan kembali bahwa demikianlah seharusnya, ialah saling melayani dan mengorbankan diri sebagaimana yang diajarkan Yesus. Yang seharusnya tidak cukup disambut dengan memandang atau menunduk hormat, tetapi setuju dan siap melakukan simbolisasi itu dalam kehidupan nyata sehingga tercipta persekutuan kasih yang sesungguhnya.
Kehadiran Yesus sungguh nyata dalam Ekaristi, tidak terbantahkan dalam imam. Kepercayaan akan daya Roh, yang akan menguduskan persembahan agar menjadi Tubuh dan Darah PuteraMu merupakan campur tangan Tuhan sendiri, melalui tangan seorang imam. Dengan demikian roti dan anggur menjadi sarana bagi kehadiran Tuhan.
Kehadiran Yesus sungguh nyata dalam Ekaristi, tidak terbantahkan dalam imam. Kepercayaan akan daya Roh, yang akan menguduskan persembahan agar menjadi Tubuh dan Darah PuteraMu merupakan campur tangan Tuhan sendiri, melalui tangan seorang imam. Dengan demikian roti dan anggur menjadi sarana bagi kehadiran Tuhan.
Yesus yang hadir sungguh luar biasa, yang agung, kudus, yang Illahi hadir. Tetapi sekaligus memberikan diri, mengorbankan diri kepada manusia yang lemah ini, sungguh memberi semangat dan kekuatan bagi manusia yang merasa diri tak layak. Ia mau hadir untuk menyertai dan menguatkan manusia di tengah dunia.
KehadiranNya dalam komuni suci, sungguh pengalaman yang melegakan, bagi mereka yang letih, lesu dan berbeban. Bagi mereka yang sakit, kehadiranNya menyembuhkan. Bagi mereka yang berdosa, tak pantas, kehadiranNya adalah sapaan yang hangat, tanpa penolakan. Sungguh, Sakramen Mahakudus ialah Allah yang mau bersolider hadir dalam suka duka kecemasan manusia. Allah yang bahkan rela mengorbankan diri, mau dipecah-pecah dan dibagi agar manusia selamat.
KehadiranNya dalam komuni suci, sungguh pengalaman yang melegakan, bagi mereka yang letih, lesu dan berbeban. Bagi mereka yang sakit, kehadiranNya menyembuhkan. Bagi mereka yang berdosa, tak pantas, kehadiranNya adalah sapaan yang hangat, tanpa penolakan. Sungguh, Sakramen Mahakudus ialah Allah yang mau bersolider hadir dalam suka duka kecemasan manusia. Allah yang bahkan rela mengorbankan diri, mau dipecah-pecah dan dibagi agar manusia selamat.
Menghayati dalam Keseharian
Yesus telah memberikan amanat dalam Perjamuan Malam terakhir, lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku. Ekaristi memang merupakan amanat Yesus untuk melaksanakan suatu perayaan liturgi. Namun tidak hanya itu, Ia juga memberi amanat untuk melakukan karya cinta kasih bagi sesama, sebagaimana diteladankanNya dengan cara simbolis membasuh kaki para murid. Ada keterkaitan utuh di antara, cultus dan caritas dari amanat Yesus. Ritus atau cultus yang dipahami dan dihayati dengan baik, menjadi sumber yang mengantar umat beriman mengamalkan kasih atau caritas, kepada sesama.
Yesus telah memberikan amanat dalam Perjamuan Malam terakhir, lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku. Ekaristi memang merupakan amanat Yesus untuk melaksanakan suatu perayaan liturgi. Namun tidak hanya itu, Ia juga memberi amanat untuk melakukan karya cinta kasih bagi sesama, sebagaimana diteladankanNya dengan cara simbolis membasuh kaki para murid. Ada keterkaitan utuh di antara, cultus dan caritas dari amanat Yesus. Ritus atau cultus yang dipahami dan dihayati dengan baik, menjadi sumber yang mengantar umat beriman mengamalkan kasih atau caritas, kepada sesama.
Seringkali inilah yang tidak mudah dan sekaligus menjadi suatu tantangan. Perayaan ekaristi menjadi kesempatan yang indah dan agung tidak terbatas dalam ritual, tetapi perlu diwujudkan dalam hidup sosial.
Dimuliakanlah Nama-Mu
Rm. Agustinus Eko Wiyono, Pr
Bagaimana cara memuji dan memuliakan nama Tuhan itu? Apakah dengan berseru nama Tuhan-Tuhan dan memanggilnya dengan suara kita, itu sudah dikatakan memuji dan memuliakan nama Tuhan? atau ada tindakan lain yang bisa kita lakukan untuk memuji dan memuliakan nama Tuhan Allah yang kita sembah dalam hidup kita? Apakah dengan melakukan tindakan baik, amal kasih kepada sesama dan mengorbankan diri kita sendiri untuk Tuhan dan sesama itu berarti kita juga telah meluhurkan nama Tuhan? apakah hanya melalui doa yang kita lantunkan dengan kata-kata yang indah saja, Tuhan itu dimuliakan oleh manusia?
Kita lihat saja apa yang kita doakan dalam doa yang diajarkan Yesus sendiri memuliakan doa Bapa Kami.
Kita lihat saja apa yang kita doakan dalam doa yang diajarkan Yesus sendiri memuliakan doa Bapa Kami.
Permohonan pertama dalam terjemahan yang lazim dipakai umat Katolik di Indonesia berbunyi: "dimuliakanlah nama-Mu". Terjemahan lebih harfiah ialah: "dikuduskanlah nama-Mu". Perkataan "kuduskan" di sini tidak boleh dimengerti dalam arti menyebabkan (hanya Allah menguduskan, membuat kudus) tetapi terutama dalam arti penilaian: mengakui sesuatu sebagai kudus dan memperlakukannya demikian. Karena itu seruan "dikuduskanlah..." dalam penyembahan kadang-kadang diartikan sebagai pujian dan syukur (Bdk. Mzm 111:9; Luk 1:49). Tetapi permohonan ini diajarkan oleh Yesus kepada kita dalam bentuk keinginan: inilah satu permohonan, satu kerinduan dan satu penantian di mana Allah dan manusia ikut terlibat.
Permohonan pertama dari Bapa Kami sudah langsung membenamkan kita ke dalam misteri ke-Allah-an-Nya dan ke dalam karya keselamatan bagi umat manusia. Permohonan kita bahwa nama-Nya dikuduskan, memasukkan kita ke dalam "keputusan penuh rahmat yang diambil lebih dahulu" supaya dalam cinta, kita hidup kudus dan tak bercela di hadapan Allah. Tuhan menyatakan nama-Nya dalam kejadian-kejadian yang menentukan dalam tata keselamatan-Nya, di mana Ia menyelesaikan karya-Nya. Tetapi karya ini terjadi untuk kita dan di dalam kita hanya, apabila nama-Nya dikuduskan oleh kita dan di dalam kita.
Kekudusan Allah adalah pusat misteri-Nya yang kekal, yang sukar didekati. Apa yang nyata tentang Dia dalam ciptaan dan dalam sejarah, dinamakan Kitab Suci kemuliaan, pancaran kemuliaan-Nya ( Bdk. Mzm 8; Yes 6:3). Allah memahkotai manusia "dengan kemuliaan dan hormat" (Mzm 8:6), karena Ia menciptakannya sebagai "gambar", seturut "rupa"-Nya (Kej 1:26). Tetapi oleh karena dosa, manusia "telah kehilangan kemuliaan Allah" (Rm 3:23). Dengan demikian Allah menyatakan kekudusan-Nya, dengan menyatakan dan menyampaikan nama-Nya, untuk menciptakan manusia baru "menurut gambaran Khaliknya" (Kol 3: 10).
Oleh janji kepada Abraham dan sumpah yang menguatkannya, Allah mewajibkan Diri, tetapi tanpa menyingkap nama-Nya. Baru kepada Musa Ia mulai menyatakannya dan Ia memperlihatkan nama-Nya itu di depan mata seluruh bangsa, dengan membebaskan mereka dari orang Mesir: "Ia menjadi tinggi
luhur" (Kel 15:1). Sejak perjanjian di Sinai bangsa ini menjadi milik-Nya; Ia 477 dipanggil untuk menjadi bangsa yang "kudus" (atau "ditahbiskan" - dalam bahasa Ibrani kata yang sama) karena nama Allah berdiam di dalamnya. Allah, Yang Kudus selalu secara baru lagi memberi kepada bangsa ini hukum yang kudus dan dengan memperhatikan nama-Nya sendiri, Ia selalu bersabar. Tetapi bangsa ini berpaling dari Yang Kudus Israel dan menajiskan nama-Nya di antara bangsa-bangsa. Karena itu orang-orang jujur dari Perjanjian Lama, orang miskin yang telah kembali dari pembuangan dan para nabi dipenuhi oleh semangat yang bernyala-nyala untuk nama-Nya. Akhirnya dinyatakan dan diberikan kepada kita di dalam Yesus, nama Allah yang kudus di dalam daging sebagai penyelamat (Bdk. Mat 1:21; Luk 1:31). Ia dinyatakan oleh
pribadi-Nya, kata-kata-Nya dan oleh kurban-Nya (Bdk. Yoh 8:28; 17:8; 17:17-19).
luhur" (Kel 15:1). Sejak perjanjian di Sinai bangsa ini menjadi milik-Nya; Ia 477 dipanggil untuk menjadi bangsa yang "kudus" (atau "ditahbiskan" - dalam bahasa Ibrani kata yang sama) karena nama Allah berdiam di dalamnya. Allah, Yang Kudus selalu secara baru lagi memberi kepada bangsa ini hukum yang kudus dan dengan memperhatikan nama-Nya sendiri, Ia selalu bersabar. Tetapi bangsa ini berpaling dari Yang Kudus Israel dan menajiskan nama-Nya di antara bangsa-bangsa. Karena itu orang-orang jujur dari Perjanjian Lama, orang miskin yang telah kembali dari pembuangan dan para nabi dipenuhi oleh semangat yang bernyala-nyala untuk nama-Nya. Akhirnya dinyatakan dan diberikan kepada kita di dalam Yesus, nama Allah yang kudus di dalam daging sebagai penyelamat (Bdk. Mat 1:21; Luk 1:31). Ia dinyatakan oleh
pribadi-Nya, kata-kata-Nya dan oleh kurban-Nya (Bdk. Yoh 8:28; 17:8; 17:17-19).
Inilah inti doa Imam Agung: Bapa yang kudus "Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya
mereka pun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17:19). Oleh karena Yesus sendiri "menguduskan" nama-Nya, maka Ia "mewahyukan" nama Bapa (Yoh 17:6). Pada akhir Paska-Nya, Bapa menganugerahkan kepada-Nya nama yang lebih besar daripada segala nama: Yesus adalah Tuhan demi kemuliaan Allah, Bapa
Dalam air Pembaptisan kita telah dibersihkan, dikuduskan, dan "dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita" (1 Kor 6:11). Allah telah memanggil kita, supaya "menjadi kudus" dalam seluruh kehidupan kita ( 1 Tes 4:7): "Oleh Dia kamu berada dalam Yesus Kristus, yang oleh Allah telah menjadi
kekudusan bagi kita" (1 Kor 1:30). Permohonan, agar nama-Nya dikuduskan di dalam kita dan oleh kita, menyangkut kehormatan-Nya dan kehidupan kita. Karena itu permohonan pertama sangat mendesak. "Oleh siapa Allah dapat dikuduskan, karena Dia sendiri yang menguduskan? Tetapi karena Ia sendiri telah mengatakan: 'Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, Tuhan, kudus'(Im 20:26), kita lalu memohon, bahwa kita yang dikuduskan dalam Pembaptisan, berpegang teguh pada keberadaan yang telah
mulai diberikan kepada kita. Dan untuk itu kita berdoa hari demi hari; karena kita membutuhkan pengudusan setiap hari, supaya kita yang berdosa setiap hari, dapat membersihkan lagi dosa-dosa kita oleh pembasuhan yang terus menerus
mereka pun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17:19). Oleh karena Yesus sendiri "menguduskan" nama-Nya, maka Ia "mewahyukan" nama Bapa (Yoh 17:6). Pada akhir Paska-Nya, Bapa menganugerahkan kepada-Nya nama yang lebih besar daripada segala nama: Yesus adalah Tuhan demi kemuliaan Allah, Bapa
Dalam air Pembaptisan kita telah dibersihkan, dikuduskan, dan "dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita" (1 Kor 6:11). Allah telah memanggil kita, supaya "menjadi kudus" dalam seluruh kehidupan kita ( 1 Tes 4:7): "Oleh Dia kamu berada dalam Yesus Kristus, yang oleh Allah telah menjadi
kekudusan bagi kita" (1 Kor 1:30). Permohonan, agar nama-Nya dikuduskan di dalam kita dan oleh kita, menyangkut kehormatan-Nya dan kehidupan kita. Karena itu permohonan pertama sangat mendesak. "Oleh siapa Allah dapat dikuduskan, karena Dia sendiri yang menguduskan? Tetapi karena Ia sendiri telah mengatakan: 'Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, Tuhan, kudus'(Im 20:26), kita lalu memohon, bahwa kita yang dikuduskan dalam Pembaptisan, berpegang teguh pada keberadaan yang telah
mulai diberikan kepada kita. Dan untuk itu kita berdoa hari demi hari; karena kita membutuhkan pengudusan setiap hari, supaya kita yang berdosa setiap hari, dapat membersihkan lagi dosa-dosa kita oleh pembasuhan yang terus menerus
... Kita berdoa, supaya pengudusan ini tinggal di dalam kita" Bergantung pada kehidupan dan sekaligus pada doa kita apakah nama-Nya dikuduskan di antara bangsa-bangsa: "Kita berdoa, agar Allah menguduskan nama-Nya, yang oleh kekudusan-Nya menyelamatkan dan menguduskan seluruh ciptaan ... Itulah nama yang memberikan kembali keselamatan, yang telah hilang, kepada dunia. Tetapi kita berdoa, supaya nama Allah dikuduskan di dalam kita oleh kehidupan kita.
Kalau kita berbuat baik, nama Allah dipuji; kalau kita berbuat buruk, maka Ia akan dihujah sesuai dengan perkataan Rasul: 'Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujah di antara bangsa-bangsa' (Rm 2:24; Yeh 36:20-22). Karena itu kita berdoa, supaya memperoleh sekian banyak kekudusan di dalam
hati kita, sebagaimana nama Allah kudus adanya"
hati kita, sebagaimana nama Allah kudus adanya"
"Kalau kita mengatakan: 'dikuduskanlah nama-Mu', kita berdoa, agar Ia dikuduskan di dalam kita yang sudah menjadi milik-Nya, demikian pula di dalam orang lain yang masih dinantikan rahmat Allah, sehingga dengan demikian kita juga patuh kepada peraturan, supaya berdoa bagi semua orang, juga bagi musuh-musuh kita. Karena itu, kita tidak secara khusus berdoa 'dikuduskanlah nama-Mu di dalam kami', karena kita berdoa agar Ia dikuduskan dalam semua manusia". Kita meneladan doa Yesus sendiri, Yesus berdoa dalam doa Imam Agung-Nya: "Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku" (Yoh 17:11). Mari memuji dan meluhurkan nama Tuhan. Amin.
Senin, 28 Mei 2012
Karya Manusia Cerminan Keindahan Sang Pencipta
RD. Yohanes Rudianada
Di sebuah taman terlihat kupu-kupu beterbangan yang berwarna-warni begitu indah. Keindahannya semarak mewarnai bumi. Dan sungguh keindahan ini tidak akan pernah bisa dibuat oleh manusia. Karena keindahannya milik Sang Pencipta. Manusia lebih dari kupu-kupu, ia diciptakan secitra dengan Allah. Entah sadar atau tidak manusia adalah cerminan keindahan Sang Pencipta. Manusia tidak sekedar ada untuk dirinya. Ia ada karena kehendak Allah. Dan Allah menciptakannya begitu indah. Kenyataan inilah yang membuat manusia sangat berharga, bahkan kehadiran satu manusia tidak akan pernah bisa digantikan dengan manusia yang lain. Karena manusia unik adanya. Lalu bagaimana manusia sebagai cerminan keindahan Sang Pencipta ini berperan dalam melaksanakan kehendak Sang Pencipta? Manusia sama dengan kupu-kupu, sama-sama memancarkan keindahan Sang Pencipta. Sama-sama ikut mewarnai dunia. Namun manusia lebih dari sekedar kupu-kupu, karena manusia mewarnai dunia dengan karya dan pelayanan kepada sesama yang diabdikan kepada Allah. Sebelum menjadi kupu-kupu, masa kepompong harus dilewati. Untuk mampu mewarnai dunia, manusia juga harus melewati masa kepompong ini. Inilah tahap dimana sebagai manusia harus bergulat untuk menemukan dirinya. Manusia harus berupaya keras melihat dirinya dengan sungguh. Proses ini adalah refleksi diri, melihat segala sesuatu tentang dirinya, terlebih melihat segala anugerah yang telah diberikan Allah. Hal ini sangat penting bagi pertumbuhan manusia. Hanya dengan melihat diri, manusia dimampukan melihat dunia.
Dunia sebagai tempat berpijak manusia membawa konsekuensi yang tidak mudah. Manusia juga harus bertanggungjawab terhadap dunia ini. Karya dipahami sebagai ungkapan terdalam dari manusia. Ungkapan mengenai siapa dirinya, keinginannya, dan kehadirannya di tengah sesama dan dunia. Karya sebagai ungkapan diri manusia tentu mengandung makna tersendiri. Karena karakternya yang dalam dari sebuah karya maka karya ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Dan inilah sebenarnya ketika manusia telah sampai pada karya berarti dia telah berani mengungkapkan dirinya. Konsili Vatikan II menuliskan bahwa karya yang dilakukan manusia adalah ungkapan terdalam dari dirinya, yaitu menampilkan Sang Pencipta; “Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta mengusai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga sesudah segala sesuatu ditaklukkan oleh manusia, nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi.” (bdk. GS 34).
Begitu penting dan bernilainya sebuah karya manusia, maka tidak ada kata setengah-setangah dalam melakukan apa pun. Manusia harus mempersembahkan yang terbaik dari dirinya. Warna-warni keindahan inilah yang kita persembahkan bagi sesama, dunia, dan Allah sendiri tentunya. Dengan demikian kebesaran Allah dinyatakan.
Senin, 21 Mei 2012
Wahyu dan Iman
Rm. Yakobus Budi Nuroto, Pr
Dalam cinta kasih-Nya, Allah memberikan Diri kepada manusia. Dengan mewahyukan Diri-Nya, Allah yang tidak kelihatan – dari kelimpahan cinta kasih-Nya – menyapa manusia sebagai sahabat-Nya; bergaul, mengundang dan menyambut kita dalam persekutuan dengan diri-Nya (Katekismus Gereja Katolik, hlm. 44).
Apa jawaban yang pantas bagi undangan ini? Jawaban yang pantas untuk undangan ini adalah iman. Dengan iman kita menaklukkan seluruh pikiran dan kehendak kita kepada Allah. Iman adalah ikatan pribadi-personal manusia dengan Allah sekaligus persetujuan bebas atas segala kebenaran yang diwahyukan-Nya.
Iman akan Allah tidak bisa kita pisahkan dari iman akan Putera-Nya yang terkasih, Yesus Kristus: “Terdengarlah suara dari surga: ‘Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mu lah Aku berkenan’" (Markus 1:11). Yesus lah Sang Sabda yang menjadi Manusia. Yesus adalah per-nyata-an Diri Allah yang definitif: nyata dan konkrit. Allah sungguh hadir: nyata dan konkrit dalam hidup, karya, wafat dan kebangkitan-Nya.
Namun kita tidak dapat percaya akan Yesus Kristus tanpa kurnia Roh Kudus; karena “Tidak ada seorang pun yang dapat mengaku: ‘Yesus adalah Tuhan’, selain oleh Roh Kudus” (1Kor. 12:3). Roh Kudus memampukan kita beriman semakin mendalam. Karena, meski iman adalah suatu kegiatan manusiawi namun iman tetaplah sebuah rahmat, satu kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh-Nya. Iman membuat kita menikmati kegembiraan dan cahaya-Nya yang menyelamatkan, yang adalah tujuan dari peziarahan kita di dunia ini.
Dengan iman, manusia terus-menerus menanggapi pewahyuan Diri Allah. Iman menjadi sebuah pengalaman perjumpaan yang dinamis yang melahirkan opsi fundamental dalam praksis hidup moral. Ketika berhadapan dengan pemberian Diri Allah, manusia ‘ditantang’ keluar dari dirinya dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah yang berbagi hidup. Roger Haight membahasakan iman sebagai sebuah keterlibatan dinamis dari segenap kemampuan dan seluruh kemerdekaan manusia yang aktif.
Pengalaman iman akan melahirkan opsi fundamental, sebuah pilihan hidup untuk menjawab sapaan Allah. Dan sebagai sebuah opsi fundamental, iman senantiasa akan berciri otonom: bebas dari dan bebas untuk, mutlak: melibatkan seluruhnya, kristiani: mengikuti Kristus dengan sungguh, menyelamatkan, dan suci: mentransformasi diri menjadi semakin suci.
Perjumpaan pribadi dengan Allah yang merupakan opsi fundamental tersebut justru tampak paling nyata dalam keterlibatan aktif sejarah manusia di dunia. Iman mewujud nyata dalam aneka tindakan moral yang dilakukan secara sadar, bebas dan sesuai dengan hati nurani. Meski dalam bertindak moral tidak membutuhkan iman, namun bagi orang beriman tindakan moral adalah perwujudan dari iman. Iman menjadi dasar dan motivasi tindakan moral.
Demikianlah, iman adalah satu peristiwa dengan tiga unsur: (1) akal budi: iman bukan gerakan jiwa yang buta melainkan aku memilihnya karena aku memahaminya sebagai sebuah kebenaran, (2) kehendak: iman bukan kesimpulan matematis melainkan opsi fundamental: kesetujuan pribadi yang bebas, dan (3) rahmat: iman adalah tanggapan atas rahmat Allah.
Jalan Untuk Mengenal Allah
Rm. Agustinus Eko Wiyono, Pr
Apakah Allah itu sungguh dapat dirasakan di dalam perjalanan hidup kita manusia? Atau Allah itu adanya, hanya sebagai khayalan dan buatan angan-angan manusia sehingga menjadi ‘sesuatu’ yang semu atau khayalan belaka? Atau apakah kita dapat membuktikannya dalam realitas kehidupan yang sedang kita jalani ini?
Maka menyelami keberadaan Allah di dalam perjalanan hidup ini rasanya akan terus menjadi topik yang sangat menarik dan menantang bagi manusia yang terus menerus dalam situasi hidupnya mencari kebenaran yang mutlak ini. Atau apakah pengetahuan yang ada sekarang ini juga bisa membuktikan adanya Tuhan atau Allah yang menjadi pegangan dalam hidup kita?
Kita berangkat dari manusia itu sendiri. Karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil untuk mengenal dan mencintai Allah, ia menemukan ‘jalan-jalan’ tertentu dalam pencarian Allah agar mencapai pengenalan akan Allah. Orang menamakan jalan jalan ini juga ‘pembuktian Allah’, bukan dalam arti ilmu pengetahuan alam, melainkan dalam arti argumen-argumen yang cocok dan meyakinkan, yang dapat menghantar kepada kepastian yang sungguh. "jalan-jalan" menuju Allah ini mempergunakan ciptaan - dunia material dan pribadi manusia - sebagai titik tolak.
Dunia. Dari gerak dan perkembangan, dari kontingensi, dari peraturan dan keindahan dunia, manusia dapat mengenal Allah sebagai sumber dan tujuan alam semesta.
Santo Paulus menegaskan mengenai orang kafir: "Karena siapa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab spa yang tidak tampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih" (Roma 1:19-20) .
Dan santo Agustinus berkata: "Tanyakanlah keindahan bumi, tanyakanlah keindahan samudera,tanyakanlah keindahan udara yang menyebarluas,tanyakanlah keindahan langit .... tanyakanlah semua benda. Semuanya akan menjawab kepadamu: Lihatlah, betapa indahnya kami. Keindahan mereka adalah satu pengakuan [confessio]. Siapakah yang menciptakan benda-benda yang berubah, kalau bukan Yang Indah [Pulcher], yang tidak dapat berubah" (Sean. 241,2).
Manusia. Dengan keterbukaannya kepada kebenaran dan keindahan, dengan pengertiannya akan kebaikan moral, dengan kebebasannya dan dengan suara hati nuraninya, dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan, manusia bertanya-tanya tentang adanya Allah. Dalam semuanya itu ia menemukan tanda-tanda adanya jiwa rohani padanya. "Karena benih keabadian yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja" (Gaudium et Spes 18,1), maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber.
Dunia dan manusia memberi kesaksian bahwa mereka tidak memiliki sebab mereka yang pertama serta tujuan mereka yang terakhir dalam dirinya sendiri, tetapi . bahwa mereka hanya mengambil bagian dalam ADA yang tanpa titik awal dan titik akhir. Jadi melalui ‘jalan-jalan’ yang berbeda itu manusia dapat sampai kepada pengertian bahwa ads satu realitas, yang adalah sebab pertama dan tujuan akhir dari segala-galanya, dan realitas ini ‘dinamakan Allah oleh semua orang’ (Tomas Aqu., s.th. 1,2,3).
Kemampuan manusia menyanggupkannya untuk mengenal adanya Allah yang berkepribadian. Tetapi supaya manusia dapat masuk ke dalam hubungan yang akrab dengan Allah, maka Allah hendak menyatakan diri kepada manusia dan hendak memberikan rahmat kepadanya supaya dengan kepercayaan dapat menerima wahyu ini. Namun bukti-bukti mengenai adanya Allah dapat menghantar menuju kepercayaan dan dapat membantu supaya mendapat pengertian bahwa kepercayaan tidak bertentangan dengan akal budi manusia.
Maka melihat apa yang tejadi dalam hidup kita ini saja, kita mampu melihat dan diyakinkan bahwa Allah adalah pribadi yang benar ada dan realitasnya sungguh nyata dapat kita rasakan. Bukan hanya suatu khayalan atau buatan manusia melainkan realitas dan adanya Allah justru menampakkan bahwa kita ada karena ADANYA ALLAH dalam hidup kita ini. Kita mampu berkarya dan hadir dalam kehidupan sesama juga karena adanya ALLAH yang selalu membimbing dan mengarahkan hidup kita. Allah itu benar-benar ADA dan NYATA, maka mari kita wartakan dan hadirkan adanya ALLAH itu secara nyata di dalam hidup kita ini.
Maka melihat apa yang tejadi dalam hidup kita ini saja, kita mampu melihat dan diyakinkan bahwa Allah adalah pribadi yang benar ada dan realitasnya sungguh nyata dapat kita rasakan. Bukan hanya suatu khayalan atau buatan manusia melainkan realitas dan adanya Allah justru menampakkan bahwa kita ada karena ADANYA ALLAH dalam hidup kita ini. Kita mampu berkarya dan hadir dalam kehidupan sesama juga karena adanya ALLAH yang selalu membimbing dan mengarahkan hidup kita. Allah itu benar-benar ADA dan NYATA, maka mari kita wartakan dan hadirkan adanya ALLAH itu secara nyata di dalam hidup kita ini.
Minggu, 13 Mei 2012
Jalan Untuk Mengenal Allah
RD. Agustinus Eko Wiyono
Apakah Allah itu sungguh dapat dirasakan di dalam perjalanan hidup kita manusia? Atau Allah itu adanya, hanya sebagai khayalan dan buatan angan-angan manusia sehingga menjadi ‘sesuatu’ yang semu atau khayalan belaka? Atau apakah kita dapat membuktikannya dalam realitas kehidupan yang sedang kita jalani ini?
Maka menyelami keberadaan Allah di dalam perjalanan hidup ini rasanya akan terus menjadi topik yang sangat menarik dan menantang bagi manusia yang terus menerus dalam situasi hidupnya mencari kebenaran yang mutlak ini. Atau apakah pengetahuan yang ada sekarang ini juga bisa membuktikan adanya Tuhan atau Allah yang menjadi pegangan dalam hidup kita?
Kita berangkat dari manusia itu sendiri. Karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil untuk mengenal dan mencintai Allah, ia menemukan ‘jalan-jalan’ tertentu dalam pencarian Allah agar mencapai pengenalan akan Allah. Orang menamakan jalan jalan ini juga ‘pembuktian Allah’, bukan dalam arti ilmu pengetahuan alam, melainkan dalam arti argumen-argumen yang cocok dan meyakinkan, yang dapat menghantar kepada kepastian yang sungguh. "jalan-jalan" menuju Allah ini mempergunakan ciptaan - dunia material dan pribadi manusia - sebagai titik tolak.
Dunia. Dari gerak dan perkembangan, dari kontingensi, dari peraturan dan keindahan dunia, manusia dapat mengenal Allah sebagai sumber dan tujuan alam semesta.
Santo Paulus menegaskan mengenai orang kafir: "Karena siapa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab spa yang tidak tampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih" (Roma 1:19-20) .
Dan santo Agustinus berkata: "Tanyakanlah keindahan bumi, tanyakanlah keindahan samudera,tanyakanlah keindahan udara yang menyebarluas,tanyakanlah keindahan langit .... tanyakanlah semua benda. Semuanya akan menjawab kepadamu: Lihatlah, betapa indahnya kami. Keindahan mereka adalah satu pengakuan [confessio]. Siapakah yang menciptakan benda-benda yang berubah, kalau bukan Yang Indah [Pulcher], yang tidak dapat berubah" (Sean. 241,2).
Manusia. Dengan keterbukaannya kepada kebenaran dan keindahan, dengan pengertiannya akan kebaikan moral, dengan kebebasannya dan dengan suara hati nuraninya, dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan, manusia bertanya-tanya tentang adanya Allah. Dalam semuanya itu ia menemukan tanda-tanda adanya jiwa rohani padanya. "Karena benih keabadian yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja" (Gaudium et Spes 18,1), maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber.
Dunia dan manusia memberi kesaksian bahwa mereka tidak memiliki sebab mereka yang pertama serta tujuan mereka yang terakhir dalam dirinya sendiri, tetapi . bahwa mereka hanya mengambil bagian dalam ADA yang tanpa titik awal dan titik akhir. Jadi melalui ‘jalan-jalan’ yang berbeda itu manusia dapat sampai kepada pengertian bahwa ads satu realitas, yang adalah sebab pertama dan tujuan akhir dari segala-galanya, dan realitas ini ‘dinamakan Allah oleh semua orang’ (Tomas Aqu., s.th. 1,2,3).
Kemampuan manusia menyanggupkannya untuk mengenal adanya Allah yang berkepribadian. Tetapi supaya manusia dapat masuk ke dalam hubungan yang akrab dengan Allah, maka Allah hendak menyatakan diri kepada manusia dan hendak memberikan rahmat kepadanya supaya dengan kepercayaan dapat menerima wahyu ini. Namun bukti-bukti mengenai adanya Allah dapat menghantar menuju kepercayaan dan dapat membantu supaya mendapat pengertian bahwa kepercayaan tidak bertentangan dengan akal budi manusia.
Maka melihat apa yang tejadi dalam hidup kita ini saja, kita mampu melihat dan diyakinkan bahwa Allah adalah pribadi yang benar ada dan realitasnya sungguh nyata dapat kita rasakan. Bukan hanya suatu khayalan atau buatan manusia melainkan realitas dan adanya Allah justru menampakkan bahwa kita ada karena ADANYA ALLAH dalam hidup kita ini. Kita mampu berkarya dan hadir dalam kehidupan sesama juga karena adanya ALLAH yang selalu membimbing dan mengarahkan hidup kita. Allah itu benar-benar ADA dan NYATA, maka mari kita wartakan dan hadirkan adanya ALLAH itu secara nyata di dalam hidup kita ini.
Maka melihat apa yang tejadi dalam hidup kita ini saja, kita mampu melihat dan diyakinkan bahwa Allah adalah pribadi yang benar ada dan realitasnya sungguh nyata dapat kita rasakan. Bukan hanya suatu khayalan atau buatan manusia melainkan realitas dan adanya Allah justru menampakkan bahwa kita ada karena ADANYA ALLAH dalam hidup kita ini. Kita mampu berkarya dan hadir dalam kehidupan sesama juga karena adanya ALLAH yang selalu membimbing dan mengarahkan hidup kita. Allah itu benar-benar ADA dan NYATA, maka mari kita wartakan dan hadirkan adanya ALLAH itu secara nyata di dalam hidup kita ini.
Senin, 07 Mei 2012
‘I MISS YOU, GOD’
“I miss you”. Demikianlah isi pesan yang masuk dalam ponselku di tengah-tengah perenunganku dini hari tadi. Tidak diketahui siapa pengirimnya karena hanya tertera nomor-nya yang tidak ada dalam daftar kontak. Rasanya ingin membalas sekaligus menanyakan apakah benar pesan itu ditujukan kepadaku ataukah si pengirim salah alamat. Tapi kuurungkan niatku itu karena lambat laun aku menikmati kalimat itu. Ada perasaan yang membanggakan karena ada yang merindukan diriku dan sekaligus perasaan penasaran ingin mengetahui siapakah gerangan orang yang merindukanku.
Ada rasa dihargai dan dihormati apabila ada orang yang merindukannya. Kehadirannya senantiasa menjadi harapan dan penghargaan dari yang merindukannya. Kita tidak membayangkan bagaimana perasaan orang yang sama sekali tidak pernah dirindukan oleh yang lainnya. Orang yang tidak dirindukan itu berarti kehadirannya tidak diharapkan bahkan diri seutuhnya tidak lagi menjadi berarti apapun bagi yang lainnya. Sejahat-jahatnya orang pasti dia akan dirindukan oleh yang lainnya, minimal dirindukan oleh teman jahatnya.
Rasa rindu meliputi siapapun yang memiliki harapan untuk memperoleh atau menggapai sesuatu yang belum belum diraihnya saat ini. Atau rasa yang ingin mengulang peristiwa atau suasana yang dulu begitu mengesankan bagi dirinya. Rasa rindu itu memiliki kekuatan yang besar yang mendorong seseorang untuk berusaha dengan keras untuk memenuhi rasa rindu. Ibarat sepasang kekasih yang terpisah oleh jarak, rasa rindu akan mendorong mereka untuk berupaya bertemu atau minimal memperoleh kabar berita dari pasangannya. Semua sarana akan dicoba digunakan untuk memenuhi rasa rindu itu. Mendengarkan suara pasangannya sudah sedikit mengobati rasa rindu apalagi bisa melihat raut wajahnya. Maka tidak mengherankan masing-masing akan menyimpan foto dari pasangannya agar dapat mengobati rasa rindu yang sedang melanda dengan memandang foto pasangannya. Ada narapidana yang nekat dan berani melarikan diri dari penjara yang super ketat penjagaannya hanya karena diliputi rasa rindu yang mendalam pada yang dikasihinya. Resiko yang berbahaya diambilnya karena didorong kekuatan rindu dalam dirinya. Kerinduan menjadi kekuatan yang dahsyat yang mendorong orang untuk melakukan segala sesuatu yang penuh resiko.
Pada dasarnya manusia juga punya kerinduan pada penciptanya. Makna paling luhur dari martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak awal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila ia dengan sukarela mengakui cinta kasih itu serta menyerahkan diri kepada Penciptanya.
Sejak dahulu kala manusia melalui pandangan iman dan pola tingkah laku religius (seperti doa, korban, upacara dan meditasi) atas berbagai cara untuk menemukan Allah. Pola tingkah laku religius manusia ini mencerminkan bahwa dalam dirinya yang paling mendalam ada kerinduan untuk dapat bertemu dengan Sang Penciptanya. Dengan adanya kerinduan ingin berjumpa, manusia akan berusaha sekuat tenaga melakukan yang terbaik dalam hidupnya agar dapat berjumpa dengan-Nya. Manusia akan berusaha hidup sesuai dengan kehendak Penciptanya dan sempurna di hadapan-Nya.
Namun pada umumnya, kerinduan manusia akan Tuhan baru akan muncul ketika manusia berada dalam kesulitan dan penderitaan hidupnya. Seperti kisah Anak yang hilang. Ketika harta benda melimpah ada padanya, anak ini tidak ingat akan rumah bapanya. Tetapi ketika cobaan dan derita datang silih berganti, barulah dia memiliki kesadaran betapa nyamannya hidup bersama bapanya. Demikian juga yang terjadi pada para koruptor, misalnya. Ketika dia berhasil mengkorupsi dan hidup bergelimpangan harta hasil korupsi tidak sebersitpun muncul dalam dirinya kerinduan akan Tuhan. Tapi setelah ditangkap dan dipenjara barulah muncul kerinduan akan Tuhan.
Biarpun manusia melupakan ataupun menolak Tuhan, namun Tuhan tiada hentinya memanggil kembali manusia supaya manusia mencari-Nya serta hidup dan menemukan kebahagiaan di dalam-Nya. Hati manusia akan selalu gelisah dan tidak tenang sampai manusia menemukan ketenteraman di dalam Tuhan. Maka berbahagialah semua yang mencari Tuhan dan hidupnya mencerminkan kerinduan pada-Nya. Kebahagiaan itu akan muncul apabila di dalam hati manusia senantiasa mengungkapkan, “I miss you, GOD.”
Minggu, 29 April 2012
Menjadi Orang yang Meng-Indonesia
RD. Sabas Kusnugroho
Menjadi umat beragama yang meng-Indonesia tentunya akan membuat negeri ini kaya hati. Bapak Uskup Albertus Soegijo Pranata, Uskup pertama Indonesia mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat yang benar. Sebagai orang katholik hidup yang sifatnya inklusif terhadap berbagai perubahan dan perbedaan harus dijalankan.
Hidup yang inklusif ini ia utarakan melalui seruannya kepada umat, “100% Katholik, 100% Indonesia.” Konsep hidup beragama sekaligus berbangsa semacam ini diusung untuk meretas batas antarumat beragama dan tetap hidup dalam satu bangsa. Bahkan slogan itu pun dirasa masih sangat relevan bagi umat nasrani dalam hidup beragama dan berbangsa hingga saat ini.
Idealnya, seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katholik, justru karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah miskin, tersingkir dan tertindas. Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang. Kita mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama.
Praktiknya hidup beriman yang inklusif itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun keterlibatan sosial. Semisal partisipasi dalam kancah politik, penyampaian aspirasi atau nilai-nilai perdamaian lewat media atau melakukan advokasi atas praktik ketidakadilan dan penindasan. Atau dalam lingkup kehidupan sosial yang lebih kecil adalah keterlibatan diri dalam dinamika RT/RW tempat kita tinggal.
Ibarat Ketapel
Sebuah ketapel agar mampu melontarkan batu dengan lesatan yang cepat dan akurat; kedua cabangnya harus memiliki panjang yang seimbang. Demikian juga orang Katholik yang tinggal di negeri Indonesia ini juga hendaknya seimbang antara kesalehan individu dan kesalehan sosialnya.
Cabang pertama disebut cabang signifikansi. Artinya tetap dituntut memiliki keimanan yang teguh dan tanpa takut berani menunjukkan statusnya sebagai orang Katholik. Sedangkan cabang kedua adalah cabang relevansi. Bahwa iman yang teguh dipegang itu hendaknya tetap terbuka atas nilai-nilai baru dari tuntutan jaman; terutama masyarakat sekitar. Duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan masyarakat Indonesia adalah juga duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan orang-orang Katolik. Sangatlah tidak adil bila kita ‘sukses’ dalam usaha dan beragama tetapi kita tidak peduli dengan masyarakat sekitar tempat kita berpijak dan menuai keberhasilan.
Ketika Yesus (Nabi Isa) dicobai oleh orang-orang Farisi soal kesetiaan kepada pimpinan Negara, Ia mengatakan bahwa hendaklah kamu memberikan apa yang menjadi hak baik milik Negara maupun milik Tuhan (Bdk. Lukas 20:25). Taat kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan taat kepada Negara. Maka sebagai indikator orang Katolik yang beriman secara benar dapat dilihat sejauh mana ia memiliki kepedulian dan turut tanggung jawab atas permasalahan yang terjadi di negeri Indonesia ini.
Menjadi umat beragama yang meng-Indonesia tentunya akan membuat negeri ini kaya hati. Bapak Uskup Albertus Soegijo Pranata, Uskup pertama Indonesia mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat yang benar. Sebagai orang katholik hidup yang sifatnya inklusif terhadap berbagai perubahan dan perbedaan harus dijalankan.
Hidup yang inklusif ini ia utarakan melalui seruannya kepada umat, “100% Katholik, 100% Indonesia.” Konsep hidup beragama sekaligus berbangsa semacam ini diusung untuk meretas batas antarumat beragama dan tetap hidup dalam satu bangsa. Bahkan slogan itu pun dirasa masih sangat relevan bagi umat nasrani dalam hidup beragama dan berbangsa hingga saat ini.
Idealnya, seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katholik, justru karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah miskin, tersingkir dan tertindas. Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang. Kita mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama.
Praktiknya hidup beriman yang inklusif itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun keterlibatan sosial. Semisal partisipasi dalam kancah politik, penyampaian aspirasi atau nilai-nilai perdamaian lewat media atau melakukan advokasi atas praktik ketidakadilan dan penindasan. Atau dalam lingkup kehidupan sosial yang lebih kecil adalah keterlibatan diri dalam dinamika RT/RW tempat kita tinggal.
Ibarat Ketapel
Sebuah ketapel agar mampu melontarkan batu dengan lesatan yang cepat dan akurat; kedua cabangnya harus memiliki panjang yang seimbang. Demikian juga orang Katholik yang tinggal di negeri Indonesia ini juga hendaknya seimbang antara kesalehan individu dan kesalehan sosialnya.
Cabang pertama disebut cabang signifikansi. Artinya tetap dituntut memiliki keimanan yang teguh dan tanpa takut berani menunjukkan statusnya sebagai orang Katholik. Sedangkan cabang kedua adalah cabang relevansi. Bahwa iman yang teguh dipegang itu hendaknya tetap terbuka atas nilai-nilai baru dari tuntutan jaman; terutama masyarakat sekitar. Duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan masyarakat Indonesia adalah juga duka, kegelisahan, kegembiraan serta harapan orang-orang Katolik. Sangatlah tidak adil bila kita ‘sukses’ dalam usaha dan beragama tetapi kita tidak peduli dengan masyarakat sekitar tempat kita berpijak dan menuai keberhasilan.
Ketika Yesus (Nabi Isa) dicobai oleh orang-orang Farisi soal kesetiaan kepada pimpinan Negara, Ia mengatakan bahwa hendaklah kamu memberikan apa yang menjadi hak baik milik Negara maupun milik Tuhan (Bdk. Lukas 20:25). Taat kepada Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan taat kepada Negara. Maka sebagai indikator orang Katolik yang beriman secara benar dapat dilihat sejauh mana ia memiliki kepedulian dan turut tanggung jawab atas permasalahan yang terjadi di negeri Indonesia ini.
Senin, 23 April 2012
Memihak Orang Miskin, Memihak Keadilan
A. Luluk Widyawan, Pr
Kitab Suci memberi gambaran tentang kemiskinan dalam beberapa kategori. Kemiskinan sebagai bentuk penindasan dan penipuan. Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, dikisahkan orang menjadi miskin karena ditindas oleh seseorang atau pemerintah (bdk., Amsal 14:31, 22:7, 28:15). Mereka mempraktikkan hukum yang tidak adil dan mengubah takaran sebagai bentuk eksploitasi. Kedua, kemiskinan dianggap sebagai kesalahan atau hukuman. Kitab Ayub mengisahkan, Tuhan membawa pencobaan kepada Ayub (Ayub 1:12-19). Ketiga, kemiskinan disebabkan oleh kemalasan, keputusasaan dan kerakusan. Amsal menulis seseorang menjadi miskin karena kebiasaan buruk dan apatisnya (bdk., Amsal 10:4, 13:4, 19:15, 20:13, 23:21).
Penyebab lain kemiskinan ialah budaya miskin. Kemiskinan menyebabkan kemiskinan lanjutan dan siklus itu tidak mudah dihentikan. Orang yang bertumbuh dalam budaya statis semacam itu membutuhkan daya juang atau pendidikan sehingga dapat memperbaiki keadaannya. Dalam situasi demikian, “orang kaya dan orang miskin bertemu, yang membuat mereka semua adalah Tuhan” (bdk., Amsal 22:2). Tuhan menghendaki perjumpaan, antara orang kaya dan orang miskin.
Pada saat Revolusi Industri, kemerosotan moralitas mengakibatkan pemerasan terhadap kaum pekerja yang tidak terlindungi undang-undang dan asosiasi. Ketamakan manusia dan proses produksi secara keseluruhan melahirkan suatu situasi di mana segelintir orang kaya memperbudak kaum pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Paus Leo XIII saat itu mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum yang dengan tegas mengecam pemecahan sosialis yang mengingkari hak milik pribadi. Kaum sosialis berpendapat, penghapusan milik pribadi dan pengalihannya kepada negara, sebagai pemecahan atas masalah kaum pekerja. (art. 3, 7). Ia membela hak-hak kaum pekerja untuk memiliki barang melalui kerja keras mereka. Negara yang meniadakan hak, berarti menindas hak. (art. 8, 9, 23)
Ensiklik Rerum Novarum menjadi titik awal bahwa Gereja berhak berbicara mengenai masalah sosial. Dengan menggunakan prinsip Injil, Gereja berusaha mendamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial (majikan dan buruh, orang kaya dan miskin). Adalah suatu kesalahan menerima keadaan bahwa suatu kelas masyarakat bertentangan dengan kelas yang lain, seakan-akan terjadi adu domba antara kaum kaya dan kaum miskin. (art. 25-27, 33, 41)
Gereja perlu mendidik umat untuk melakukan tindakan atau bertindak adil. (art. 40-41). Sebagaimana disebut dalam Ensiklik Rerum Nivarum, kaum pekerja tidak boleh diperlakukan sebagai budak. Karena keadilan menuntut penghormatan akan martabat pribadi manusia. Tindakan yang sangat tidak manusiawi jika memanfaatkan manusia, pria atau wanita, demi keuntungan semata, sebagai sesuatu yang tidak lebih dari sekedar barang. (art. 31).
Menurut YB Mangunwijaya, kemiskinan dan orang miskin adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami penderitaan. Mereka sungguh berada dalam situasi terjepit, selalu dikalahkan dan tak punya pilihan. Mereka tak memiliki jalan keluar atas persoalannya, tidak memiliki koneksi, modal atau informasi. Mereka sebagai kaum yang sakit, tertindas, terhisap, terjajah, tergusur, tergeser, yang dina, lemah, miskin, terlupakan, tak terhitung dan dilecehkan. Kemiskinan tak lagi menunjuk kepada suatu nasib atau keadaan kodrati, tetapi sebagai akibat dari proses pemiskinan. Maka, proses ini dapat dan harus dihentikan serta diganti dengan keadaan hidup yang lebih baik, yaitu di mana semua pihak saling memberi dan menerima atas asas keadilan.
Dalam situasi demikian, Gereja perlu peka terhadap persoalan kemiskinan dan orang miskin, dengan melihat situasi di sekitar, menganalisa kekuatan internal yang dapat dijadikan modal sosial serta menawarkan pemikiran, tindakan kreatif serta cara hidup alternatif sebagai pemecahan. Pendek kata, dalam situasi di mana yang kuat sebagai yang menang, Gereja perlu berpihak kepada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Dalam situasi yang mengagungkan uang, Gereja perlu mewartakan solidaritas dan kasih. Dalam situasi yang menghalalkan segala cara, Gereja perlu mengembangkan budaya saling menghormati, bekerjasama dan berdialog.
Inilah pilihan memihak orang miskin, sebagaimana diteladankan Yesus. Bahwa Gereja perlu terus berupaya menegakkan diri, meskipun jatuh bangun dan bahkan kerap mengalami kegagalan, untuk menjadi sahabat bagi semua kalangan, terutama mendengarkan mereka yang mengalami penderitaan dan mengupayakan bantuan. Atau berupaya mendukung prakarsa pemberdayaan masyarakat seperti pertanian organik, pemberdayaan ekonomi melalui credit union. Tak ketinggalan mengusahakan orang kaya dan orang miskin bertemu untuk saling membantu. Atau mendorong umat bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik demi mewujudkan keadilan.
Keadilan Bagi yang Tak Berdaya
OLEH: RM. AGUSTINUS EKO WIYONO, PR
Keadilan, dimanakah kita akan menemukannya? Kepada penegak hukum? Apakah kita bisa temukan? Kepada penguasa, apakah kita bisa berkeluh soal keadilan? Kita lihat saja situasi yang ada di sekitar kita. Setiap hari kita dihadapkan kepada berbagai peristiwa ketidakadilan yang terjadi tengah masyarakat. Masih hangat dibicarakan kasus yang dialami oleh AAL, siswa SMK Negeri 3 Kota Palu yang divonis bersalah oleh hakim pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah hari Rabu kemarin 4 Januari 2011 hanya gara-gara “mencuri” sepasang sandal. Dan ini merupakan peristiwa yang sebenarnya terjadi bukan baru saja, melainkan kasus lama yang kemudian sekarang diajukan ke pengadilan dan diperkarakan. Kasus yang ringan kalau mau dilihat perkaranya. Hanya gara-gara sepasang sandal maka AAL divonis bersalah. Sedangkan disekitar kita ada begitu banyak kasus berat dan besar yang sangat merugikan banyak orang, didiamkan saja dan yang melakukannya justru dengan tengang menikmati kebebasan. Adilkah ini?
Apakah kita masih bisa merasakan akan adanya keadilan yang nyata bagi semua manusia tanpa ada pembedaan dengan melihat siapa pribadinya. Keadilan hanyalah sebuah impian dan asyik untuk dibicarakan. Dalam tataran ide, sangat bagus. Tetapi tidak dalam kenyataan. Hanya sebuah utopia yang tidak tahu kapan dan bagaimana keadilan itu bisa terwujud dan berlaku bagi semua manusia. Juga mampukah kita berharap pada pribadi lain agar benar-benar kita bisa merasakan keadilan seperti yang kita dambakan bersama.
Dalam terang Injil kita dapat melihat apa yang diajarkan oleh Tuhan sendiri. Manusia itu terpanggil dan wajib mengusahakan apa yang sedang bergerak di dunia sebagai gerakan hak-hak asasi manusia. Dalam terang Injil dilihat bahwa manusia, yang diakui dan dipanggil Tuhan sebagai sahabat-Nya, hanya dapat menjawab panggilan Tuhan itu dalam solidaritas. Sebab “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki ataupun perempuan, tetapi semua adalah satu di dalam Kristus” (Galatia 3:28).
Pengalaman menarik bisa kita lihat dari pengalaman umat Allah dalam Perjanjian Lama yang sangat menentukan sejarah selanjutnya, yaitu pengalaman pembebasan ketika martabat manusia mereka yang diinjak-injak ditegakkan kembali, ketika hak-hak asasi yang dirampas dikembalikan lagi.
Dalam Kitab Ulangan kita bisa menemukan apa yang dialami oleh Bangsa Israel: ”Kemudian engkau harus menyatakan di hadapan Tuhan, Allahmu, demikian: Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing, tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada TUHAN, Allah nenek moyang kami, lalu TUHAN mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. Lalu TUHAN membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda serta mujizat-mujizat.Ia membawa kami ke tempat ini, dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. (Lihat Ulangan 26:5-9).
Maka sejak dari kisah ini, maka sejarah keselamatan adalah sejarah pembebasan, yang di dalam nya kita melihat perhatian khusus Tuhan akan kaum miskin dan yang tertindas. Tuhan sungguh mendengarkan orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya dalam tahanan” (Mazmur 69:34). Maka perlu diingat bahwa hak-hak asasi manusia pertama-tama harus diperjuangkan bagi yang lemah, yang tidak berdaya dalam masyarakat. Dasar dari tindakan ini adalah tindakan Tuhan sendiri yang melindungi orang yang tidak memiliki kekuatan.
Nah, belajar dari kasus diatas, dan dari apa hyang seharusnya kita perjuangkan dalam perjalanan hidup kita ini, kiranya sekarang kita harus berani mengubah diri kita sendiri. Kalau hanya berharap kepada orang lain tentang keadilan dan menuntut keadilan itu sulit. Mari kita mengembangkannya melalui dan dari dalam diri kita sendiri. Bagaimana caranya, yaitu dengan mengembangkan sikap murah hati dan mau membantu sesama terlebih yang miskin dan tak berdaya. Jangan sampai diri kita dibutakan oleh kepentingan pribadi yang hanya mencari dan menemukan kepuasan diri sendiri.
Apakah kita bisa? Inilah yang menjadi tantangan kita. BISA, asal kita terus menerus mengembangkannya dalam diri kita dengan tanpa kenal lelah. Kalau orang lain tidak adil kepada kita, maka jangan sampai kita melakukan yang sama kepada sesama. Kita harus menjadi pelita yang membawa terang bagi sesama.
Selasa, 10 April 2012
Gereja yang Kudus
OLEH: RD. YAKOBUS BUDI NUROTO
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Puji Syukur hlm. 1). Oleh karenanya iman mesti dijaga, dirumuskan dan diwujudkan. Rumusan syahadat iman Gereja Katolik terungkap dalam Kredo (Credo= Aku Percaya). Dalam syahadat tersebut – Syahadat Para Rasul dan Hasil Konsili Nikea (325) Konstantinopel (381) – terungkap iman kepercayaan Gereja akan Allah Tritunggal; Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik; pengampunan dosa, kebangkitan badan, dan kehidupan kekal.
Gereja adalah satu, kudus, katolik dan apostolik. Gereja kudus bukan karena setiap anggotanya (sudah) kudus melainkan karena Gereja senantiasa dipanggil kepada kekudusan: “Sebab Kristus, Putera Allah, yang bersama Bapa dan Roh dipuji bahwa ‘hanya Dialah Kudus’, mengasihi Gereja sebagai mempelaiNya. Kristus menyerahkan diri baginya, untuk menguduskannya” (Lumen Gentium 39). Kristuslah yang membuat Gereja kudus.
Kekudusan itu terungkap dalam aneka cara yang dibuat oleh para anggotanya. Semua dan/atau setiap anggota dipanggil untuk mengambil bagian dalam satu kekudusan Gereja. Kekudusan bukanlah soal bentuk pelaksanaan melainkan lebih pada sikap dasarnya. Kudus lebih dari sekedar masalah tempat, waktu, barang atau orang. Karena kudus berarti ‘yang dikhususkan bagi Tuhan’. Kudus menyangkut semua bidang sakral keagamaan yang berada di lingkup kehidupan Tuhan.
Kudus pertama-tama bukanlah kategori moral melainkan teologal. Karena kudus bukanlah pertama-tama soal kelakuan manusia melainkan lebih pada hubungannya dengan Allah. Hal ini bukan berarti bahwa hidup yang sesuai dengan kaidah moral tidak penting. Tetapi kedekatan dengan Allah jauh lebih penting. Karena dari seorang yang telah terpanggil kepada kekudusan diharapkan menanggapinya dalam kehidupan sesuai dengan kaidah moral. Dengan kata lain, apa yang dikhususkan bagi Tuhan haruslah sempurna, dan ukuran kesempurnaan manusia itu ada dalam taraf moral kehidupannya.
Kudus adalah karya Roh (2Tesalonika 2:13) dan panggilan bagi semua dan/atau setiap manusia (Roma 1:7). Manusia akan menjadi kudus bila sungguh mau menanggapi karya Allah terutama dalam sikap iman dan harapan yang mewujud dalam peri hidup kasih: mendengarkan sabdaNya, melaksanakan kehendakNya, menerima sakramen-sakramen, tabah dalam doa, mengingkari diri, aktif melayani sesama, dan mengamalkan keutamaan-keutamaan (Lumen Gentium 42).
Kudus bukanlah soal bentuk kehidupan, melainkan sikap yang diwujudnyatakan dalam hidup keseharian. “…semua orang kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala sesuatu dari tangan Bapa di surga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia” (Lumen Gentium 41).
Akhirnya, Gereja itu memang sungguh kudus, namun sekaligus harus selalu dibersihkan serta terus-menerus menjalankan pertobatan dan pembaharuan (Lumen Gentium 8). Dengan demikian kesucian Gereja adalah kesucian perjuangan yang terus-menerus.
Jumat, 16 Maret 2012
Koruptor Itu Dikasihi Tuhan
RM. A. Agus Wijatmiko
Syahdan maka diajukanlah si Abunawas sebagai terdakwa ke depan pengadilan. Abunawas didakwa telah mengkorupsi dana pembangunan kamar mandi umum di kampungnya sebesar Rp 15.000.000. Dalam proyek itu, Abunawas bertugas sebagai pengawas para pekerja. Sedangkan pimpinan proyek itu adalah kepala kampungnya. Abunawas dianggap telah menyalahgunakan dana itu yang tidak ia gunakan untuk membangun proyek yang semestinya. Dana itu digunakan oleh Abunawas untuk kepentingan dirinya sendiri. Akibat dari perbuatannya itu, warga di kampungnya tidak dapat menggunakan kamar mandi umum yang sangat mereka nanti-nantikan.
Di depan pengadilan, hakim bertanya kepada Abunawas, “Apakah saudara melakukan korupsi?”. Jawabnya, “Iya, Yang Mulia. Saya telah melakukan korupsi.” Hakim terheran-heran dengan pengakuan jujur dari Abunawas ini. Dalam hati si hakim bertanya-tanya, “Baru kali ini saya menghadapi seorang koruptor yang jujur”. Padahal beberapa bulan sebelum Abunawas dihadirkan pengadilan, dia sempat menghilang dan keberadaannya entah ke mana. Walaupun akhirnya Abunawas menyerahkan dirinya kepada pihak berwajib.
Hakim bertanya lagi, “Apakah saudara tidak didampingi oleh pembela?”. Abunawas menjawab, “Saya akan membela diri saya sendiri karena saya memang telah bersalah. Saya akan menyerahkan semua bukti-bukti yang menunjukkan kesalahan saya. Oleh sebab itu saya minta majelis hakim mengadili saya dengan seadil-adilnya”. Hakim mengatakan, “Selama saudara tidak berbelit-belit dalam memberi kesaksian dan saudara jujur, kami akan mengadili saudara dengan seadil-adilnya”.
Semua yang hadir dalam persidangan itu terhenyak dengan yang terjadi di ruang pengadilan. Sekembalinya Abunawas ke ruang tahanan, seorang wartawan mengikutinya untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang Abunawas untuk mengakui semua perbuatannya itu. Dalam wawancara itu, Abunawas berkata, “Selama saya berada dalam pelarian, hati saya merasa tidak nyaman. Tapi yang mendorong saya untuk mengakui semua perbuatan saya adalah pesan yang saya peroleh dari mimpi saya. Dalam mimpi itu, saya didatangi seorang Malaikat. Dia berkata kepada saya bahwa saya ini begitu dikasihi oleh Tuhan. Saya sebagai manusia yang bernama Abunawas dikasihi dan dicintai oleh Tuhan. Tapi Tuhan membenci tindakan korupsi yang saya lakukan. Selama saya tidak mengakui dan diadili akibat semua perbuatan korupsi saya, maka saya tidak akan memperoleh kasih dan rahmat Tuhan yang telah mencintai saya”. Abunawas melanjutkan lagi, “Dari mimpi itu saya menyadari betapa Tuhan mencintai saya. Lalu mengapa saya mesti korupsi? Inilah yang mendorong saya untuk memperbaiki diri dengan mengakui perbuatan korupsi. Saya tahu konsekuensi pengakuan saya ini, yaitu saya akan diadili dan dihukum. Mendingan saya dihukum di dunia ini daripada saya dihukum di akhirat nanti.”
Kemudian si wartawan itu bertanya kepada Abunawas, “Menurut anda, kalau semua koruptor di negeri ini menyadari dirinya dikasihi oleh Tuhan apakah mereka mau mengakui perbuatannya”? Jawab Abunawas, “Saya tidak mau mengkotbahi mereka. Tapi yang saya tahu dan saya alami, saya dicintai dan dikasihi Tuhan maka saya sadar bahwa tindakan saya mengkorupsi yang bukan hak saya itu adalah salah. Dari kasus saya, akibat dari perbuatan saya, warga di kampung saya sampai sekarang tidak dapat mandi dengan layak. Tindakan saya telah merugikan banyak orang. Tindakan yang merugikan orang lain bukanlah tindakan dari orang yang dikasihi dan dicintai oleh Tuhan. Menyadari dan merasakan kasih Tuhan membuat saya jijik dengan perbuatan korupsi yang telah saya lakukan. Oleh sebab itu saya layak untuk dihukum daripada saya kehilangan kasih dan cinta Tuhan kepada saya.” Lalu wartawan itu berkata, “Berarti koruptor itu adalah orang yang menyadari akan kasih dan cinta Tuhan kepadanya?” Abunawas menjawab, “Benar sekali”. Wartawan itu berkata, “Seandainya saja saya dan anda serta semua orang yang hidup di negeri ini merasakan kasih dan cinta Tuhan maka kita membutuhkan badan tertentu yang mengurusi korupsi dan lain sebagainya karena kita sebagai orang yang dikasihi dan dicintai Tuhan akan malu untuk melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan orang yang dikasihi Tuhan”.
Syahdan maka diajukanlah si Abunawas sebagai terdakwa ke depan pengadilan. Abunawas didakwa telah mengkorupsi dana pembangunan kamar mandi umum di kampungnya sebesar Rp 15.000.000. Dalam proyek itu, Abunawas bertugas sebagai pengawas para pekerja. Sedangkan pimpinan proyek itu adalah kepala kampungnya. Abunawas dianggap telah menyalahgunakan dana itu yang tidak ia gunakan untuk membangun proyek yang semestinya. Dana itu digunakan oleh Abunawas untuk kepentingan dirinya sendiri. Akibat dari perbuatannya itu, warga di kampungnya tidak dapat menggunakan kamar mandi umum yang sangat mereka nanti-nantikan.
Di depan pengadilan, hakim bertanya kepada Abunawas, “Apakah saudara melakukan korupsi?”. Jawabnya, “Iya, Yang Mulia. Saya telah melakukan korupsi.” Hakim terheran-heran dengan pengakuan jujur dari Abunawas ini. Dalam hati si hakim bertanya-tanya, “Baru kali ini saya menghadapi seorang koruptor yang jujur”. Padahal beberapa bulan sebelum Abunawas dihadirkan pengadilan, dia sempat menghilang dan keberadaannya entah ke mana. Walaupun akhirnya Abunawas menyerahkan dirinya kepada pihak berwajib.
Hakim bertanya lagi, “Apakah saudara tidak didampingi oleh pembela?”. Abunawas menjawab, “Saya akan membela diri saya sendiri karena saya memang telah bersalah. Saya akan menyerahkan semua bukti-bukti yang menunjukkan kesalahan saya. Oleh sebab itu saya minta majelis hakim mengadili saya dengan seadil-adilnya”. Hakim mengatakan, “Selama saudara tidak berbelit-belit dalam memberi kesaksian dan saudara jujur, kami akan mengadili saudara dengan seadil-adilnya”.
Semua yang hadir dalam persidangan itu terhenyak dengan yang terjadi di ruang pengadilan. Sekembalinya Abunawas ke ruang tahanan, seorang wartawan mengikutinya untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang Abunawas untuk mengakui semua perbuatannya itu. Dalam wawancara itu, Abunawas berkata, “Selama saya berada dalam pelarian, hati saya merasa tidak nyaman. Tapi yang mendorong saya untuk mengakui semua perbuatan saya adalah pesan yang saya peroleh dari mimpi saya. Dalam mimpi itu, saya didatangi seorang Malaikat. Dia berkata kepada saya bahwa saya ini begitu dikasihi oleh Tuhan. Saya sebagai manusia yang bernama Abunawas dikasihi dan dicintai oleh Tuhan. Tapi Tuhan membenci tindakan korupsi yang saya lakukan. Selama saya tidak mengakui dan diadili akibat semua perbuatan korupsi saya, maka saya tidak akan memperoleh kasih dan rahmat Tuhan yang telah mencintai saya”. Abunawas melanjutkan lagi, “Dari mimpi itu saya menyadari betapa Tuhan mencintai saya. Lalu mengapa saya mesti korupsi? Inilah yang mendorong saya untuk memperbaiki diri dengan mengakui perbuatan korupsi. Saya tahu konsekuensi pengakuan saya ini, yaitu saya akan diadili dan dihukum. Mendingan saya dihukum di dunia ini daripada saya dihukum di akhirat nanti.”
Kemudian si wartawan itu bertanya kepada Abunawas, “Menurut anda, kalau semua koruptor di negeri ini menyadari dirinya dikasihi oleh Tuhan apakah mereka mau mengakui perbuatannya”? Jawab Abunawas, “Saya tidak mau mengkotbahi mereka. Tapi yang saya tahu dan saya alami, saya dicintai dan dikasihi Tuhan maka saya sadar bahwa tindakan saya mengkorupsi yang bukan hak saya itu adalah salah. Dari kasus saya, akibat dari perbuatan saya, warga di kampung saya sampai sekarang tidak dapat mandi dengan layak. Tindakan saya telah merugikan banyak orang. Tindakan yang merugikan orang lain bukanlah tindakan dari orang yang dikasihi dan dicintai oleh Tuhan. Menyadari dan merasakan kasih Tuhan membuat saya jijik dengan perbuatan korupsi yang telah saya lakukan. Oleh sebab itu saya layak untuk dihukum daripada saya kehilangan kasih dan cinta Tuhan kepada saya.” Lalu wartawan itu berkata, “Berarti koruptor itu adalah orang yang menyadari akan kasih dan cinta Tuhan kepadanya?” Abunawas menjawab, “Benar sekali”. Wartawan itu berkata, “Seandainya saja saya dan anda serta semua orang yang hidup di negeri ini merasakan kasih dan cinta Tuhan maka kita membutuhkan badan tertentu yang mengurusi korupsi dan lain sebagainya karena kita sebagai orang yang dikasihi dan dicintai Tuhan akan malu untuk melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan orang yang dikasihi Tuhan”.
Syahdan maka diajukanlah si Abunawas sebagai terdakwa ke depan pengadilan. Abunawas didakwa telah mengkorupsi dana pembangunan kamar mandi umum di kampungnya sebesar Rp 15.000.000. Dalam proyek itu, Abunawas bertugas sebagai pengawas para pekerja. Sedangkan pimpinan proyek itu adalah kepala kampungnya. Abunawas dianggap telah menyalahgunakan dana itu yang tidak ia gunakan untuk membangun proyek yang semestinya. Dana itu digunakan oleh Abunawas untuk kepentingan dirinya sendiri. Akibat dari perbuatannya itu, warga di kampungnya tidak dapat menggunakan kamar mandi umum yang sangat mereka nanti-nantikan.
Di depan pengadilan, hakim bertanya kepada Abunawas, “Apakah saudara melakukan korupsi?”. Jawabnya, “Iya, Yang Mulia. Saya telah melakukan korupsi.” Hakim terheran-heran dengan pengakuan jujur dari Abunawas ini. Dalam hati si hakim bertanya-tanya, “Baru kali ini saya menghadapi seorang koruptor yang jujur”. Padahal beberapa bulan sebelum Abunawas dihadirkan pengadilan, dia sempat menghilang dan keberadaannya entah ke mana. Walaupun akhirnya Abunawas menyerahkan dirinya kepada pihak berwajib.
Hakim bertanya lagi, “Apakah saudara tidak didampingi oleh pembela?”. Abunawas menjawab, “Saya akan membela diri saya sendiri karena saya memang telah bersalah. Saya akan menyerahkan semua bukti-bukti yang menunjukkan kesalahan saya. Oleh sebab itu saya minta majelis hakim mengadili saya dengan seadil-adilnya”. Hakim mengatakan, “Selama saudara tidak berbelit-belit dalam memberi kesaksian dan saudara jujur, kami akan mengadili saudara dengan seadil-adilnya”.
Semua yang hadir dalam persidangan itu terhenyak dengan yang terjadi di ruang pengadilan. Sekembalinya Abunawas ke ruang tahanan, seorang wartawan mengikutinya untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang Abunawas untuk mengakui semua perbuatannya itu. Dalam wawancara itu, Abunawas berkata, “Selama saya berada dalam pelarian, hati saya merasa tidak nyaman. Tapi yang mendorong saya untuk mengakui semua perbuatan saya adalah pesan yang saya peroleh dari mimpi saya. Dalam mimpi itu, saya didatangi seorang Malaikat. Dia berkata kepada saya bahwa saya ini begitu dikasihi oleh Tuhan. Saya sebagai manusia yang bernama Abunawas dikasihi dan dicintai oleh Tuhan. Tapi Tuhan membenci tindakan korupsi yang saya lakukan. Selama saya tidak mengakui dan diadili akibat semua perbuatan korupsi saya, maka saya tidak akan memperoleh kasih dan rahmat Tuhan yang telah mencintai saya”. Abunawas melanjutkan lagi, “Dari mimpi itu saya menyadari betapa Tuhan mencintai saya. Lalu mengapa saya mesti korupsi? Inilah yang mendorong saya untuk memperbaiki diri dengan mengakui perbuatan korupsi. Saya tahu konsekuensi pengakuan saya ini, yaitu saya akan diadili dan dihukum. Mendingan saya dihukum di dunia ini daripada saya dihukum di akhirat nanti.”
Kemudian si wartawan itu bertanya kepada Abunawas, “Menurut anda, kalau semua koruptor di negeri ini menyadari dirinya dikasihi oleh Tuhan apakah mereka mau mengakui perbuatannya”? Jawab Abunawas, “Saya tidak mau mengkotbahi mereka. Tapi yang saya tahu dan saya alami, saya dicintai dan dikasihi Tuhan maka saya sadar bahwa tindakan saya mengkorupsi yang bukan hak saya itu adalah salah. Dari kasus saya, akibat dari perbuatan saya, warga di kampung saya sampai sekarang tidak dapat mandi dengan layak. Tindakan saya telah merugikan banyak orang. Tindakan yang merugikan orang lain bukanlah tindakan dari orang yang dikasihi dan dicintai oleh Tuhan. Menyadari dan merasakan kasih Tuhan membuat saya jijik dengan perbuatan korupsi yang telah saya lakukan. Oleh sebab itu saya layak untuk dihukum daripada saya kehilangan kasih dan cinta Tuhan kepada saya.” Lalu wartawan itu berkata, “Berarti koruptor itu adalah orang yang menyadari akan kasih dan cinta Tuhan kepadanya?” Abunawas menjawab, “Benar sekali”. Wartawan itu berkata, “Seandainya saja saya dan anda serta semua orang yang hidup di negeri ini merasakan kasih dan cinta Tuhan maka kita membutuhkan badan tertentu yang mengurusi korupsi dan lain sebagainya karena kita sebagai orang yang dikasihi dan dicintai Tuhan akan malu untuk melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan orang yang dikasihi Tuhan”.
Kamis, 09 Februari 2012
“Maria telah bagian yang memilih terbaik”
(Kid 8: 6-7; Luk 10:38-42)
“ Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya.Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” (Luk 10:38-42), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan dalam rangka mengenangkan pesta St.Skolastika, perawan, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Di dalam perjalanan hidup, panggilan dan tugas pengutusan, kita harus menghadapi aneka macam tawaran yang harus kita pilih, olah dan geluti dalam cara hidup dan cara bertindak kita setiap hari. Jika yang ditawarkan jelas bedanya dan berbeda manfaat maupun keuntungannya, tentu dengan mudah kita akan memilih apa yang lebih bermanfaat dan mengutungkan alias memilih yang terbaik. Orang baik pada umumnya sering dihadapkan kepada tawaran atau pilihan yang sepintas kelihatan sama-sama baik, namun harus memilih satu yang terbaik, dan untuk itu kiranya tidak mudah serta membutuhkan pengorbanan ketika harus menentukan pilihan. Dalam warta gembira hari ini dikisahkan bahwa “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya”. Hal yang sama kiranya juga telah dilakukan oleh St.Skolastika yang telah memilih hidup sebagai perawan, tidak menikah serta kemudian mempeesembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Keperawanannya tidak diserahkan kepada orang tertentu, melainkan kepada Tuhan, karena dengan demikian ia kemudian akan mampu melayani lebih banyak orang daripada hanya melayani orang tertentu yang telah diserahi keperawannya, yaitu suaminya. Maka dalam rangka mengenangkan St.Skolastika hari ini kami berharap kepada rekan-rekan perempuan yang masih perawan semoga juga ada yang tergerak untuk mempersembahkan keperawananya kepada Tuhan dengan menjadi suster atau biarawati. Sekiranya tidak menjadi biarawati atau suster baiklah mempersembahkan keperawanannya kepada lelaki yang menjadi suaminya, karena dengan demikian anda berarti juga tetap menjaga kesucian anda. Kepada anda yang telah bersuami kami harapkan setia pada suaminya serta tidak menjual diri kepada orang lain alias berselingkuh. Sebaliknya kepada para suami kami harapkan juga setia pada isterinya dan tidak berselingkuh.
Rabu, 08 Februari 2012
“Apa yang keluar dari seseorang itulah yang menajiskannya”
“Lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: "Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya." [Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!] Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu. Maka jawab-Nya: "Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal. Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Mrk 7:14-23), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Yang keluar dari seseorang antara lain: kata-kata melalui mulut, keringat melalui kulit, air seni/ kencing melaui alat kelamin dan tinja melalui dubur. Apa yang keluar tersebut pada umumnya berbau, tidak sedap dan tidak enak. Dari anggota-anggota tubuh di atas juga dapat muncul percabulan atau perzinahan, sedangkan “dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan”. Sabda hari ini mengingatkan kita agar dari hati kita timbul apa yang sebaliknya, yaitu pikiran dan perbuatan baik atau segala tingkah laku yang membuat tubuh, hati, pikiran dan jiwa kita semakin suci, bersih dari aneka macam dosa. Dengan kata lain kita diharapkan senantiasa berpikiran positif terhadap saudara-saudari dan lingkungan kita maupun aneka macam peristiwa yang sedang terjadi, sebagaimana sering muncul dari mulut orang-orang Jawa yang baik ketika melihat sesuatu peristiwa, misalnya: ada orang jatuh, untung tidak patah kakinya, terlambat datang, untung tetap hadir dst.. Maka dengan ini kami berharap secara khusus kepada rekan-rekan laki-laki: ketika melihat gadis cantik, ayu, berpakaian bagus dst.. hendaknya tidak berpikiran cabul atau zinah, melainkan memuji Allah. Kepada kita semua: hendaknya ketika melihat uang atau barang berharga tertinggal tidak lalu berpikiran jahat untuk memilikinya, melainkan segera mengusahakan siapa pemiliknya serta menyerahkannya.
Senin, 06 Februari 2012
“Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia."
(1Raj 8:22-23.27-30; Mrk 7:1-13)
“Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus. Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka; dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga. Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: "Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?" Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia."Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri. Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati. Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban -- yaitu persembahan kepada Allah --, maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatu pun untuk bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan." (Mrk 7:1-13), demikian kutipan Warta Gembira hari ini
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat memang bersikap mental yuridis, begitu berpegang tegung pada aneka aturan. Semua aturan dibuat atas dasar cintkasih dan diundangkan atau diberlakukan agar orang hidup saling mengasihi, dengan kata lain yang utama dan terutama adalah cintakasih bukan peraturan. Hal senada kiranya juga terjadi dalam diri umat beragama, yaitu lebih setia dan taat pada adat-istiadat para leluhur daripada ajaran agama. Sebagai contoh konkret: ada orang yang hendak menikahkan anaknya menurut perhitungan sebagaimana diberlakukan dalam adat-istiadat perihal hari dan jam, tidak mengikuti ajaran agamanya. Sabda hari ini mengajak dan mengingatkan kita semua untuk lebih mengutamakan dan mengedepankan Firman/Sabda Allah daripada adat istiadat alias mengutamakan cintakasih daripada kebiasaan. Maka kami berharap agar anak-anak di dalam keluarga sedini mungkin untuk dididik dan dibina dalam hal cintakasih daripada kebiasaan-kebiasaan atau dalam hal etika lebih mengutamakan nilai-nilai moral daripada nilai-nilai hukum maupun sopan santun. Nilai moral lebih luas dan universal daripada nilai hukum maupun sopan santun.
Langganan:
Postingan (Atom)